Bab 3: Udang Goreng Tepung 

(Penerjemah: Anickme)


Hanya diterangi oleh bintang-bintang dan bulan, Heinrich sudah mencapai batasnya. Pada saat ini, dia akan kehabisan tenaga dan tumbang, mati sendirian di tengah hutan tanpa pernah bisa menyelesaikan misi yang diberikan padanya. Dia mencoba membuang gambaran masa depan tentang pengalamannya di militer, mendorong dirinya untuk terus berlari melintasi lapangan. 

Satu-satunya hal yang membuat kaki Heinrich tetap bergerak hanyalah pikiran bahwa dia tidak boleh mati di sini. Memang benar kalau misinya adalah hal yang paling penting, bahkan jika itu berarti mendorong tubuhnya melewati batas. Dia harus memberi tahu yang lain tentang sekelompok mothmen yang muncul di hutan. Sampai dia dapat memberi tahu orang-orang di kastil, dia tidak boleh mati. 

Baru kemarin, mothmen—monster humanoid mirip ngengat dengan empat tangan yang hidup di hutan Duchy—terbang ke langit secara berkelompok. Tentu saja, Heinrich dan prajurit lain telah ditempatkan di benteng terdekat untuk mengawasi monster berbahaya yang meninggalkan hutan. Mereka bertarung untuk menghentikan mothmen agar tidak keluar, tetapi mau tidak mau, mereka harus mundur akibat serangan serbuk sari beracun makhluk-makhluk itu, cakar-cakar tajam memandang mereka dari langit, dan di atas itu, jumlah mereka yang sangat banyak. Para prajurit Duchy bersembunyi di benteng berupaya untuk menyerang balik, tetapi tulisan itu ada di dinding. 

Mereka akan segera kalah. 

Mereka harus memberi tahu kastil tentang situasi yang mengerikan dan meminta bantuan secepat mungkin. Heinrich dipilih untuk misi penting ini karena kemampuan berkudanya yang sangat baik. Bersama pesan rahasia untuk negara yang disegel oleh komandannya di sakunya, dia pergi dari benteng ketika ada celah yang dibuat teman seperjuangannya dengan mempertaruhkan nyawa mereka. 

Heinrich seharusnya sudah sampai di kastil. Namun, dia malah berjalan kaki, berlari melintasi hutan yang masih wilayah Duchy. Dia melakukan satu kesalahan serius: kudanya. Dia mengambil kuda yang paling kuat, paling sehat dari semua yang ada di benteng, tetapi ketika dia pergi, salah satu dari mothmen berhasil menyerang kudanya dengan serbuk sari beracun. Dalam perjalanan ke kastil, kudanya mati, dengan busa di mulut. Karena tidak ada pilihan lain, Heinrich meninggalkan kudanya, membawa barang seperlunya, dan berlari menuju tujuannya. 

Namun, setiap pria memiliki batasan tenaga. 

Dia hampir tidak merasakan kakinya, setelah mendorong dirinya hingga melewati batas, dan tubuhnya sekarang mengalami dehidrasi karena terlalu banyak berkeringat. Lebih buruk lagi, dia kelaparan. Saat Heinrich meninggalkan benteng, dia sudah cukup makan. Namun, satu hari telah berlalu sejak itu, dan tubuhnya berlari dalam keadaan kosong. Dia melakukan satu kesalahan besar, memilih untuk tidak membawa makanan agar kudanya berjalan lebih cepat. 

Aku menolak untuk mati di sini! 

Jatuh di sini bukan hanya kematian semua prajurit yang percaya pada Heinrich dan sedang menunggu bala bantuan, tetapi juga kematian untuk seluruh penduduk kota di belakang garis pertahanan benteng. Tanggung jawab yang luar biasa berat itulah yang membuat Heinrich, ksatria muda dan berasal dari keluarga Seeleman, terus berlari. Jika dia terus melanjutkannya, dia bisa mencapai kastil di saat fajar. 

Masalahnya hanyalah tubuhnya mungkin menyerah sebelum sampai. 

Dewa laut dan air yang agung, berikanlah aku kekuatan! 

Ingin menghemat energi sebanyak mungkin, Heinrich berdoa kepada dewa yang paling disembah di kota pelabuhan yang disebutnya kampung halaman. 

Dewa tidak meninggalkannya. 

"Apa...!" 

Ada sebuah pondok kecil di depan Heinrich. Sebenarnya, itu sangat kecil dan usang yang kemungkinan itu termasuk sejenis pondok penjelajah. 

"Aku selamat!" 

Jika dia bisa mendapatkan air dan makanan... Heinrich membuat keputusan. Masa depan Duchy ada di depannya. Dia akan mengambil apa yang dia butuhkan, berapa pun biayanya. 

Tanpa berpikir panjang, dia meraih pinggangnya dan mengambil harta keluarga Seeleman: pedang suci yang ditempa oleh dwarf. Itu adalah satu-satunya benda yang dia bawa. Heinrich membuka pintu hitam mewah, menguatkan diri pada tindakan putus asa yang mungkin harus dia lakukan untuk menyelesaikan misinya. 

Suara bel terdengar saat dia membuka pintu. Heinrich sejenak dibutakan oleh cahaya dari dalam, apa lagi setelah terbiasa dengan cahaya bulan. Pondok kecil ini jauh lebih terang daripada yang dia pikirkan. 

"Selamat datang!" 

Heinrich disambut oleh seorang pria paruh baya yang kemungkinan adalah pemiliknya. 

...Dia sendirian. 

Sepertinya tidak ada orang lain di sekitarnya. Bersyukur karena perubahan ini, Heinrich mencengkeram gagang pedangnya dan memaksakan perintahnya. 

"Aku Heinrich Seeleman, ksatria dari Duchy! Sebagai warga Duchy yang tinggal di pondok ini, aku membutuhkan air dan makanan! Jika kau menolak..." 

"Segera datang!" 

Heinrich berkedip cepat. Dia telah mempersiapkan dirinya untuk terus memberikan perintah tetapi sebaliknya pria itu lebih mau mematuhinya. 

“Duduk saja di mana pun Anda suka. Aku akan segera kembali dengan handuk hangat dan air." 

Setelah memperhatikan pria itu lebih lanjut, Heinrich merasa aneh karena dia berpakaian sangat bagus untuk seseorang yang tinggal di tengah hutan. 

"B-baiklah." Semua kemarahannya tersedot keluar karena respons santai pria itu. Heinrich duduk di meja terdekat. 

"Ah, hampir lupa. Tuan, dapatkah Anda membaca bahasa Benua Timur?" 

"T-Tentu saja, aku bisa," jawab Heinrich dan menganggukkan kepalanya, bingung dengan pertanyaan itu. 

"Bagus. Tunggu sebentar." 

Lalu, pria itu menuju ke belakang, di mana Heinrich menganggap dapur dengan wadah air berada di sana. 

Tempat apa ini? Sambil menunggu pria aneh itu, Heinrich melihat ke sekelilingnya. Hal ini hanya membuatnya semakin bingung. Di dalamnya ada sejumlah kursi dengan alas lembut, serta beberapa meja berkilau yang indah. Seluruh tempat terang walaupun sedang tengah malam. Di atas setiap meja ada beberapa gelas kecil dan botol porselen. Sulit membayangkan kalau ini adalah pondok penjelajah: mereka selalu hidup tanpa ada jaminan bisa mendapat makanan. 

"Hei! Kau siapa? Kau tidak terlihat seperti penjelajah." Heinrich mengalihkan perhatiannya kembali ke pria itu saat dia berjalan membawa nampan, semacam kain putih terlipat, wadah air berwarna emas, dan gelas berisi gelas berisi es dan air di atasnya. Ada yang salah tentang tempat ini. Tanpa sadar, nada suaranya berubah menjadi seperti interogator. 

"Penjelajah? Apa maksudnya? Ini restoran, 'Masakan Barat Nekoya.'" Pria itu memandang Heinrich, tidak paham apa yang sedang dia maksud. 

“Restoran, katamu? Di tempat ini?!" Heinrich berteriak tanpa sengaja. Ini pasti semacam lelucon. Bahkan menemukan tempat ini adalah suatu kebetulan, yang secara ajaib ditemukan dalam perjalanannya melintasi hutan. Kenapa ada orang yang membuka restoran di tempat di mana mereka tidak akan mendapat pelanggan? 

"Aku tidak yakin 'pintu' apa yang Anda gunakan untuk sampai di sini, Tuan, tetapi yang satu ini benar-benar spesial." Pemilik itu menunjuk ke pintu yang dimasuki Heinrich. "Bel pintu itu memiliki semacam sihir yang sepertinya menghubungkannya dengan berbagai pintu berbeda di dunia Anda." 

Pria itu menjelaskan Heinrich konsep "Restorannya dari Dunia Lain" seakan-akan dia telah melakukannya beberapa kali sebelumnya. Dia bahkan tidak terlihat kalau dia akan mempercayainya. 

"Itu tidak mungkin!" 

Kebingungan Heinrich menjadi lebih besar setelah mendengar penjelasannya. Melihat ini, pria misterius itu mendesah. 

"Ya, aku mengerti. Aku juga tidak akan mempercayainya jika seseorang memberitahuku sesuatu seperti itu. Tapi aku bisa jamin ini restoran. Aku bisa menyiapkan apa saja yang ada menu ini, jadi silakan memesan.” 

Setelah itu, yang disebut pemilik restoran menempatkan buku menu di atas meja. 

"Menu? Apa yang kau maksud?" 

Terlepas dari keluhannya, Heinrich meraih dan membuka menu yang ditinggalkan pemilik itu. Tekstur objeknya tidak seperti kertas atau perkamen umum: anehnya benda itu halus. Yang tercantum dalam buku adalah berbagai macam hidangan yang tidak pernah dia lihat atau dengar. 

"Tulisannya cukup bagus." 

Heinrich berpendapat bahwa siapa pun yang menulis menu pasti telah menerima pendidikan yang cukup baik. Setiap huruf mudah dibaca, dan kosakata yang digunakan lebih tinggi. Mungkin yang paling penting, dalam setiap hidangan misterius terdapat penjelasan yang mudah dimengerti. 

"Yah, apa pun selama aku bisa makan... Tunggu, apa ?!" Mata Henrich membesar pada salah satu penjelasan hidangan pada menu. Meskipun hidangan itu bernama "udang goreng," penjelasannya tertulis: "shripe goreng yang dilapisi tepung roti dan dan ditangkap di daerah selatan." 

Setelah membaca satu kalimat penjelasan, Heinrich melupakan sekelilingnya. Hanya melihat kata "shripe" untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir sudah cukup untuk membuat mulutnya berair. Seperti yang kalian tahu, shripe adalah sejenis makhluk laut asli kampung halaman Heinrich di tepi lautan. Makhluk itu terkenal akan cangkang keras yang menyembunyikan daging lunak dari tubuhnya yang panjang dan kurus, serta cakar besarnya. Shripe berwarna biru saat ditangkap tetapi akan berubah merah setelah dibakar. Seseorang bisa menambahkan sedikit garam pada shripe yang sudah matang dan menikmatinya, atau mereka bisa memotongnya dan memasukkannya ke sup. Masalah utamanya adalah shripe mudah rusak. Bahkan hanya membawanya ke kota sebelah itu hal sulit, yang berarti kota-kota pesisir seperti Heinrich adalah satu-satunya tempat di mana kalian bisa memakan itu. Heinrich tidak pernah merasakan shripe sejak meninggalkan rumah untuk menjadi seorang ksatria. 

Aku harus tenang. 

Ketika dia berpikir tentang makhluk laut, dia bisa merasakan lidahnya mulai mengingat rasanya yang luar biasa. Tekstur daging yang tebal benar-benar berbeda dari binatang lain, jus asin yang menyebar ke seluruh mulut dalam tiap gigitan: rasanya menggembirakan. Heinrich mengingat kembali masa kecilnya ketika dia berlari di jalanan seperti rakyat jelata untuk membeli shripe panggang dengan beberapa koin tembaga yang diberikan pengasuh padanya. 

"Apa Anda siap memesan, Tuan?" 

"O-oh, ya. Aku memesan udang goreng ini." Jawaban Heinrich terhadap pemilik hampir secara otomatis. Untuk sesaat, dia ingat bahwa tempat ini berada di tengah-tengah hutan dan tidak ada jaminan kalau makanan yang dimasak pria itu enak. Tetap saja, pemilik itu mengatakan dia bisa membuat apa saja di menu. Jika itu bohong, dia hanyalah penipu. 

"Baiklah, satu pesanan udang goreng akan datang! Apa Anda ingin tambahan roti?" 

"T-tentu." 

Pemilik itu memastikan pesanan Heinrich seolah itu bukan masalah besar dan kembali ke belakang. 

"Apa dia benar-benar akan membawakanku shripe?" Heinrich ragu ketika dia meminum air di depannya. Dia menghela nafas dengan puas. "Sangat lezat…" 

Gelas air es yang dingin sama sekali tidak manis, tetapi rasa buahnya yang segar menyapu tubuh Heinrich yang kering. 

Lebih penting lagi, bagaimana bisa ada es di tempat seperti ini? 

Heinrich telah memikirkan hal ini dan pertanyaan lainnya sejak tiba di restoran, tetapi pada saat itu, tangannya tidak berhenti bergerak. Dia minum dari gelas airnya, meraih ke wadah emas, dan menuangkan gelasnya sendiri. Heinrich mengulangi hal ini tiga kali, air dingin memuaskan dahaga dan mengisi kembali tenaga tubuhnya yang lelah, setelah memenuhi perutnya. Dia beristirahat sejenak untuk mengatur napas. 

"Hmph, ini cukup nyaman." 

Selanjutnya, dia menyeka keringatnya dengan kain putih yang dibawa oleh pemilik itu tadi. Handuk dilipat dengan cara yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Tidak jelas apakah sudah direndam dalam air panas dan kemudian diperas kering, tetapi sensasinya benar-benar luar biasa. 

Heinrich menyeka tangan, wajahnya, dan lehernya. Di saat ketiga handuk yang dibawa pemilik berubah menjadi hitam akibat tanah, dia akhirnya bersih. 

"Ya, maaf membuat Anda menunggu. Ini pesanan udang gorengnya. Aku sarankan untuk menambahkan sedikit saus tartar khusus ini di atasnya juga." 

Tepat ketika Heinrich sudah siap, Pemilik itu keluar membawa makanan di tangannya. Di atas piring putih ada beberapa sayuran yang diiris tipis dan buah merah kecil. Di sampingnya ada sebuah cangkir kecil yang diisi dengan zat mirip saus putih dengan bintik-bintik hijau. 

Tetapi di atas itu semua, ada sesuatu berwarna cokelat muda yang terletak di atas piring, ekor merahnya mencuat keluar dari balik lapisan roti. Ini seharusnya adalah shripe, atau yang disebut pemilik, "udang goreng." 

“Santailah dan nikmatilah! Oh, isi ulang roti dan supnya gratis, jadi teriaklah jika mau lagi.” 

"Mmhm." 

Henrich nyaris tidak mendengar sepatah kata pun dari pemilik saat menelan ludah yang membanjiri mulutnya. 

Ini seharusnya shripe, kan? 

Itu tidak terlihat seperti shripe yang dia tahu. Pertama dan paling penting, bentuknya terlalu lurus. Biasanya, entah bagaimana seseorang memasak shripe, saat itu terkena api, ia akan melengkung. Tentu, shripe bisa diluruskan jika menaruhnya di tusukan daging sebelum dimasak, tetapi "udang goreng" ini berbeda. 

Ini adalah tiga potong udang goreng yang lurus, aromanya melayang ke atas. Heinrich bukan orang yang jenius di dapur, itulah sebabnya dia tidak begitu paham apa yang dilihatnya. 

Di penjelasannya tertulis kalau ini dilapisi tepung roti dan digoreng dalam minyak... 

Yang mencuat keluar dari bawah adalah ekor merah agak meyakinkan bahwa udang goreng ini benar-benar shripe, bahkan jika bagian tubuh lainnya berwarna coklat muda. 

Secara sekilas, Heinrich menganggap lapisan itu terbuat dari tepung gandum yang dilarutkan dalam air, seperti kebiasaan penduduk di Kekaisaran, tetapi permukaannya terlalu kasar. Sebagai ksatria dari keluarga atas, yang mewakili kotanya, Heinrich telah mencicipi semua jenis hidangan asing. Namun yang ini benar-benar baru baginya. 

Terserahlah. Kupikir aku akan mencobanya. 

Dia menggunakan pisau untuk memotongnya sedikit, menusukkan garpu ke dalamnya, dan membawanya ke mulut. Rupanya, pemilik telah memotong kepala shripe dan mengupas cangkangnya sebelum memasaknya. Tepat di bawah lapisan tepung roti, daging putih makhluk laut itu keluar dari potongan yang dia buat. 

Hm. Cukup bagus. 

Berlawanan dari tepung roti renyah, daging putih yang tampak segar di dalamnya membuat selera Heinrich muncul saat dia menggigitnya. 

"Oooh." 

Ketika dia menelannya, Heinrich menghela nafas. Sudah pasti ini shripe. Jus yang mengalir keluar dari daging putih lebih segar dari yang pernah dia makan di kota asalnya. Rasa sederhana yang dikombinasikan dengan tepung roti renyah, tidak diragukan lagi berasal dari minyak dan tepung berkualitas tinggi, menciptakan kebahagiaan murni. 

Tepung roti hancur dalam setiap gigitan shripe berikutnya, membuat rasa di mulut yang luar biasa. Tidak tercium bau amis yang dimiliki makhluk itu ketika membusuk. Di setiap gigitan, lebih banyak makhluk laut dan jus yang segar dan lezat, serta lapisan tipis renyah jatuh ke perutnya yang kosong. 

Heinrich dengan cepat selesai memakan bagian shripe yang pertama, benar-benar terpesona. 

"Hm... Hm?" 

Setelah menelan ekor di dalam semua keindahan aromatiknya, Heinrich siap untuk beralih ke bagian kedua. Saat itulah dia mengingat kata-kata pemilik. 

Kalau tidak salah, dia mengatakan sesuatu tentang menggunakan saus tartar ini... 

Dia melihat wadah kecil berisi saus putih dengan bintik-bintik hijau di dalamnya. Ini pasti saus "tartar" yang dikatakan pemilik. Masalahnya adalah apa menambahkan ini pada udang goreng benar-benar ada gunanya. 

Masih tidak begitu yakin, Heinrich memotong ujung udang goreng dan mencelupkannya ke dalam saus putih. Lalu, bintik-bintik hijaunya mengikuti. 

Terlihat indah, tapi bagaimana rasanya? 

Heinrich dengan perlahan membawa potongan shripe ke mulutnya dan langsung terpana. 

Apa... Apa ini?! 

Dia belum pernah merasakan rasa seperti ini sebelumnya. Saus putih misterius itu memiliki rasa yang lezat hanya dengan sedikit rasa asam. Itu terbuat dari apa yang diduga Heinrich adalah acar sayuran dan telur rebus, ditambah dengan sedikit rempah yang kuat. 

Saus tartar membantu mengeluarkan rasa dari lapisan shripe, sementara telur dan aroma samar dari rempahnya semakin mengubah rasanya menjadi sesuatu yang bahkan lebih kompleks. 

Ini sulit dipercaya! 

Heinrich merasakan gelombang penyesalan membanjiri dirinya. Udang goreng yang dimakannya pertama itu lezat, tapi tidak bisa dibandingkan dengan kelezatan saus tartar yang baru saja dia makan. 

Tepat saat dia selesai, perutnya berbunyi keras. Betapa mengerikannya itu semua. Meskipun baru saja memasukkan makanan ke perutnya, rasanya seolah-olah dia telah mengosongkannya. 

"Permisi! Aku tambah!" Heinrich memesan lagi. 

"Tentu! Sepertinya Anda sangat menyukai udang goreng.” 

Pemilik itu tersenyum saat dia menjawab, seperti pengalamannya selama bertahun-tahun mengatakan bahwa satu piring tidak akan cukup. Dia segera membawa pesanan udang goreng kedua untuk Heinrich. Pada akhirnya, Heinrich memesan tiga piring makanan laut lezat, ditambah saus tartar. Kombo pembunuh dari udang goreng dan saus asam, bersama makanan sampingan yang lezat berupa roti putih dan sup yang dicampur oranie serta sayuran lainnya, dan daging mulai mengisi perutnya. Sebagai Pelepas rasa, Heinrich sesekali akan menggigit sayuran segar seperti daun di atas piring. Setiap gigitan sayuran yang diiris tipis datang dengan kerenyahan yang memuaskan. Sayuran aneh ini tidak terasa seperti tanaman yang ditemukan di dalam hutan: itu memiliki rasa manis yang ringan dan sangat cocok dengan saus tartar. Bahkan, Heinrich merasa bahwa dia mungkin bisa memakan kombinasi itu selamanya. 

Roti, sup, sayuran, dan udang goreng yang disirami saus tartar: tidak ada satu pun yang buruk di antara mereka. Heinrich bahkan lupa bahwa Duchy dalam bahaya selama dia memanjakan diri dalam pesta ini. 

"Oh Dewa yang menguasai laut dan air, aku berterima kasih karena memberikanku makanan yang luar biasa ini." Heinrich mengakhiri makannya dengan doa kepada kekuatan yang ada. Dia berdiri dari kursinya dengan harapan dapat meminta resep dari pemilik, tetapi seketika dia seolah-olah seperti melihat hantu. 

Sial! Aku tidak punya uang! 

Memang benar, dia meninggalkan dompetnya di benteng setelah pergi ke kastil. 

Ini buruk. 

Heinrich baru saja menikmati makanan yang paling menakjubkan. Pasti bernilai setidaknya seratus koin perak, atau mungkin lebih. Heinrich bahkan rela menawarkan koin emas seandainya pemilik memintanya. Jika dia membawa dompetnya, dia dengan senang hati akan membayar biaya sebesar apapun sesuai yang dia minta. Namun sayangnya, dompetnya jauh, jauh sekali. 

Aku tidak bisa membayarnya... Ah, aku tahu! 

Dia benar-benar lupa tentang rencana awalnya meminta makanan dan minuman dengan paksa. 

"Tuan! Aku ingin melunasi biayanya, tetapi aku perlu bantuanmu." Heinrich memanggil pria paruh baya itu. 

"Apa itu?" 

"Aku menyesal berkata aku tidak punya uang! Aku ingin kau mengambil ini sebagai gantinya! Saat aku datang lagi, aku berjanji aku akan membayarmu sepenuhnya! Mohon ambil jaminan ini sampai saat itu!" Heinrich menawarkan pemilik harta keluarganya, pedang yang dibuat oleh dwarf. 

"Apa?! T-tidak, aku bisa mencatatnya ke tagihanmu.” 

"Tidak bisa! Ini adalah caraku menunjukkan ketulusanku. Jangan takut! Aku bersumpah akan datang ke tempat ini lagi! Aku punya urusan yang mendesak dan harus pergi sekarang, tapi tolong beri aku udang goreng lagi ketika aku kembali. " 

Heinrich bergegas ke pintu, meninggalkan pemilik yang benar-benar bingung dengan apa yang baru saja terjadi. 

“Tu-tunggu! Tuan, pintunya hanya muncul sekali setiap tujuh..." 

"Maaf! Aku harus cepat! Nasib Duchy tergantung padanya!” Dia berlari melalui pintu, kata-kata pemilik memantul dari punggungnya saat dia pergi. 

Kaki Heinrich terasa ringan seperti bulu. Rasa udang goreng lezat yang tersisa memberinya energi yang dibutuhkannya. Dia tidak kelelahan lagi. 

Dan ksatria itu tiba di kastil sebelum fajar, memperingatkan mereka akan bahaya yang mendekat. Sadar betapa mengerikan situasinya, Duchy mengirim sejumlah tentara ke benteng, dan semuanya terselamatkan. Heinrich, yang telah bekerja paling keras dari semuanya, dihormati dan dihargai. 

Namun terlepas dari semua penghargaannya, Heinrich tetap tertegun. 

"Ini tidak mungkin! Restorannya tidak ada disini?!" 

Sepuluh hari setelah mothmen dikalahkan, Heinrich mengunjungi pondok tua di tengah hutan. Apa yang dia temukan membuatnya mata terbelalak. Restoran tempat dia makan pada hari itu sudah tidak ada lagi. Pondoknya ada, tetapi tidak ada jejak restoran atau bahkan manusia. Bahkan, bangunan itu tampak seperti telah ditinggalkan bertahun-tahun yang lalu. Pintu hitam yang dilihatnya pada hari itu juga hilang. 

"Lalu apa yang kulihat hari itu?" 

Heinrich dipenuhi dengan rasa pertanyaan. Dia tahu pasti bahwa itu bukan mimpi. Pedang dwarf yang dia berikan pada pemilik itu, bernilai ratusan koin emas di pasar, hilang. 

*** 

Itu terjadi tiga tahun lalu. 

Tiga tahun telah berlalu sejak kemustahilan terjadi pada hari ajaib itu. 

"Kapten Heinrich, Anda memiliki tamu." 

Diakui karena telah menyelamatkan Duchy dari suatu bencana, Heinrich dipercaya oleh seluruh pasukan ksatria. Orang yang memberitahunya ada tamu merupakan salah satunya. 

"Oh? Siapa dia?" Heinrich memiringkan kepalanya dalam menanggapinya, yang telah lama tumbuh menjadi kapten yang penuh martabat dan kewaspadaan. Benteng ini cukup jauh dari keramaian kota. Dia tidak terpikir seseorang akan datang ke sini tanpa diundang. 

"Ya, dia sendirian. Dia meminta bertemu dengan Anda. Dia menyebut dirinya Tatsugorou," bawahan Heinrich memberitahunya. 

"Apa?! Apa kau mengatakan Tatsugorou?! Yang asli?!" Heinrich berbicara agak keras karena terkejut. Tatsugorou dikenal di Benua Timur sebagai pendekar pedang terkenal yang berasal dari Benua Barat. Tidak ada pendekar pedang ataupun tentara bayaran yang tidak tahu namanya. 

"Ya. Sayangnya, saya tidak dapat memastikan identitasnya, tapi dia terlihat persis seperti yang digambarkan lagu-lagu kepahlawanan..." Prajurit itu, yang tidak begitu yakin, mulai menggambarkan pria itu kepada kaptennya. 

Orang yang dimaksud itu pria besar dan lebih tua yang mengenakan kimono dari perak ajaib yang ditenun oleh para elf. Semua tentang penggambatannya itu kelihatannya benar, tetapi petunjuk terbesar adalah dia pergi ke benteng ini sendirian. Biasanya, seseorang yang ingin melakukan perjalanan harus didampingi oleh pengawal untuk menghadapi monster yang menghuni daerah tersebut. Dia jelas bukan manusia biasa. 

"Baiklah. Bawa dia, tapi hati-hati jangan sampai bersikap kasar." 

Setelah mendengar penggambarannya, Heinrich memutuskan untuk bertemu pria itu. Dia memberi perintah kepada prajurit itu, dan kedua pria itu akhirnya bertemu. 

“Senang bertemu Anda, Tuan Seeleman. Namaku Tatsugorou.” 

Pria yang menyebut dirinya Tatsugorou menundukkan kepalanya dengan hormat kepada Heinrich. Dia memakai pakaian asing dan memegang pedang samurai, dengan pisau kedua terselip di pinggangnya. Heinrich tertegun akibat aura kuat yang dipancarkan pria itu. Dia hampir seperti singa yang menandai wilayahnya. Sudah dipastikan: dia adalah Tatsugorou yang asli. 

“Tidak, tidak, segala hormat hanya untukmu, Tuan Tatsugorou! Saya Heinrich Seeleman, seorang ksatria Duchy. Saya sudah banyak mendengar tentang perjalanan Anda!" dia menyapa Tatsugorou, memastikan untuk memberinya penghormatan tertinggi sebagai seorang prajurit. Pendekar pedang asing di depannya dikenal luas sebagai petualang yang bisa menebas monster apa pun dengan imbalan uang. Dia bahkan telah mengalahkan makhluk buas yang katanya tidak bisa dikalahkan oleh manusia. Bagi Heinrich, yang menghabiskan pelatihan selama bertahun-tahun sebagai ksatria, Tatsugorou adalah pendekar pedang yang dia idolakan. Bahkan saat masih kecil, dia mendengar banyak kisah yang diceritakan para penyair tentang samurai. 

Heinrich kembali tenang. Dia merasa sangat terhormat pendekar pedang legendaris datang menemuinya, tetapi dia tidak tahu alasannya. Dia berdeham sebelum bertanya pada Tatsugorou, "Tapi apa yang membawa Anda ke benteng kecil kami di tengah-tengah antah berantah?" 

Tatsugorou menjawabnya dengan mengangguk. "Sebenarnya, seorang kenalanku memintaku untuk mengirimkan sesuatu yang kau lupakan." 

Dia meraih pinggangnya, mengeluarkan salah satu pedang dan menyerahkannya ke Heinrich. Itu bukanlah pedang samurai satu tangan yang dia gunakan dalam pertempuran tetapi sesuatu yang lebih banyak hiasannya. 

"Itu... ?!" Mata Heinrich melebar saat dia menunduk kearah pedangnya. "Bagaimana... dari mana Anda mendapatkan ini?" 

Ini adalah pedang buatan dwarf yang sama yang ditinggalkan Heinrich di restoran bertahun-tahun yang lalu. Pedang yang dia bawa dengan bangganya selama bertahun-tahun, dia yakin akan hal itu. 

Kenapa Tatsugorou memiliki pedang yang hilang tiga tahun lalu? 

"Seperti yang kukatakan, seorang kenalanku meminta aku untuk mengembalikannya kepadamu. Karena sepertinya kau tidak pernah kembali, dia merasa kau mungkin menginginkan itu." Tatsugorou tersenyum. Heinrich persis seperti yang digambarkan oleh pemilik itu: tipe anak muda yang keras kepala yang tidak mendengarkan. 

“Seorang kenalan? Tunggu, mungkinkah...?” Butuh beberapa saat bagi Heinrich untuk menyadari maksud perkataan Tatsugorou. 

“Sepertinya apa yang kau pikirkan. Jika tidak salah, seharusnya ada 'pintu' di suatu tempat dekat benteng ini." Setelah menjawab Heinrich, Tatsugorou mengingat beberapa info yang dia temukan selama bertahun-tahun dalam perjalanannya dan tersenyum. "Bagaimana? Mau ikut denganku memakan beberapa udang goreng besok, pada Hari Satur?" 

Udang goreng. Heinrich berbicara setelah beberapa saat terdiam oleh perkataannya. 

"Aku bisa makan udang goreng lagi?" Kenangan makanan dari tiga tahun yang lalu datang kembali, dan dia menelan ludah. 

"Benar. Setiap tujuh hari sekali, pada Hari Satur,” jawab Tatsugorou dan tersenyum. 

Pada hari itu, Restoran dari Dunia Lain memperoleh pelanggan tetap baru.
full-width