Prolog: Makam

(Penerjemah: Anickme)


Udara dingin yang lemah di reruntuhan menyambut Subaru dengan ketenangan yang aneh.

Suara sepatunya terdengar dalam setiap langkah. Suara langkah kakinya yang agak keras membuat Subaru gelisah, tetapi mereka juga membantunya untuk tetap menapak di tanah.

Bahkan saat dia tidak bisa melihat apa pun di depannya, hanya suara-suara itu yang mengingatkannya bahwa dia benar-benar ada.

Tempat itu diselimuti kegelapan total. Beberapa waktu telah berlalu sejak dia kehilangan jejak dinding yang dia temukan dengan sentuhan sebelumnya. Dia berjalan dan terus berjalan di sepanjang lorong tanpa akhir: bagi Subaru, dia seperti hanya berdiam diri, seolah-olah gerakannya hanyalah halusinasi.

Mendengar suara langkah kakinya itu meredakan kekhawatirannya. Lebih lagi, alasan Subaru untuk berada di sini mendorongnya untuk melangkah maju.

Dia terus berjalan, mengandalkan gema dari sepatunya. Dia tidak bisa berhenti — dia tidak akan membiarkan dirinya berhenti. Tidak peduli seberapa dalam penolakan telah mengakar dalam hatinya, tidak peduli seberapa berat beban di pundaknya, dia harus mengertakkan gigi dan terus berjalan.

Jika dia tidak melakukannya, bagaimana dia bisa menemuinya—?


"—Aku paham. Inilah keinginan yang mendorongmu. Aku sangat penasaran."

Tiba-tiba, terdengar sebuah suara.

Saat dia mendengarnya, Subaru membeku. Keabadian tanpa akhir yang dia rasakan tiba-tiba lenyap.

Dalam sekejap, kegelapan yang dia pikir akan terus berlanjut dengan cepat menghilang dan dunia yang tanpa warna sekarang tampak dilukis dalam susunan warna yang mempesona. Ada warna hijau di bawah kakinya dan langit biru tanpa awan yang membentang di atas kepala. Subaru menyadari bahwa dia berdiri di padang rumput yang seharusnya tidak ada di sana.

Dia merasakan angin lemah membelai rambutnya, kemudian tenggorokannya menegang karena terkejut.

"—Ngh"

"Bisakah kau berhenti bermain-main dan datang ke sini?"

Ketika Subaru berdiri di sana dalam diam, sebuah suara memanggilnya dari belakang.

Ketika dia berbalik, dia melihat sebuah bukit kecil. Di bagian atasnya, sebuah payung parasol telah disiapkan untuk memberikan keteduhan bagi meja dan kursi putih di bawahnya — dan di kursi itu, dia melihat seorang gadis.

"..."

Sosoknya memenuhi benaknya dengan pikiran putih — putih bersih, seolah semua warna telah dihapuskan dari keberadaannya.

Rambut panjang yang mencapai punggungnya dan kulitnya yang hampir terlihat seperti porselen, lebih dari cukup untuk menarik perhatian seseorang; gaun hitam pekat menyelubungi tubuhnya yang ramping, seperti pakaian yang mungkin dipakai seseorang dalam pemakaman; mata hitamnya bersinar dengan kecerdasan yang luar biasa — inilah satu-satunya hal yang tampaknya membuktikan gadis fana itu benar-benar ada.

Putih dan hitam: kecantikannya yang sangat mencolok diungkapkan oleh dua warna saja.

Hanya perlu melirik penampilannya yang menawan untuk membuat seseorang di bawah mantranya — tetapi pemandangan gadis ini menyuntikkan rasa takut yang luar biasa ke dalam jiwa Subaru, yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Bahkan pertemuan pertamanya dengan Paus Putih tidak mengejutkannya seperti ini.

"Ya ampun, apa aku telah mengejutkanmu?"

"..."

Subaru tidak mengatakan sepatah kata pun kepada gadis yang mendekatinya. Ketika dia melihat reaksinya, matanya dipenuhi dengan kesenangan. Gadis itu terdiam sebelum mengangguk, sepertinya mempertimbangkan situasi.

“Ahh, begitu. Aku belum memperkenalkan diri. Sangat memalukan. Sudah begitu lama sejak aku berbicara dengan seseorang, emosiku tampaknya lebih baik dari diriku."

Tidak seperti nada suaranya, ekspresi gadis itu nyaris tidak berubah sama sekali ketika bahunya yang mungil sedikit menukik.

Dia menoleh ke Subaru, yang masih terdiam dan membeku dalam ketakutan, lalu menyentuh tangannya ke dadanya saat dia dengan tenang memperkenalkan dirinya.


"Namaku Echidna ..."


Bibir gadis itu bergerak menjadi senyum tipis saat dia menambahkan:

"Atau mungkin lebih baik menyebut diriku Penyihir Keserakahan?"
full-width