Bab 1: Dipanggil Olehmu

(Penerjemah: Anickme)


1

Ketika dia bangun, hal pertama yang dia rasakan adalah hawa dingin.

"...Dingin sekali."

Bisiknya saat dia duduk di kasurnya yang keras

―Dia adalah gadis cantik dengan ciri fisik yang mencolok. Rambut peraknya seperti sinar bulan, kulitnya seputih salju. Dia menyipitkan mata ungunya yang menyerupai perhiasan indah, kecantikannya benar-benar menakjubkan.

Namun wajahnya rusak karena rasa kantuk, dan sepertinya dia tidak akan meninggalkan kasurnya dalam waktu dekat.

"———"

Beginilah dia menghabiskan waktunya dengan bersembunyi di balik selimut. Udara segar berhembus dari luar kamarnya. Suasananya seperti pagi hari, tetapi gadis itu terus membuang waktunya sambil setengah tertidur.

Meskipun ini masih pagi, seseorang mungkin bisa berpikir dia sangat mengantuk.

"Harus bangun..."

Hampir satu jam berlalu sebelum dia benar-benar sadar.

Dia menguap, kaki panjangnya direntangkan saat dia meninggalkan kasur. Pakaian tidurnya yang tipis dilepas dari bahunya, memperlihatkan tubuhnya yang lembut dan ramping.

Tubuh telanjangnya lebih mirip karya seni daripada sesuatu yang cabul, seperti karya terbaik seorang pelukis besar. Itu sangat ceroboh meskipun tidak ada orang lain di sana, seolah-olah dia bahkan tidak peduli orang lain akan melihatnya.

"——"

Dia membuka pintu secara perlahan dan keluar sambil merapikan rambut perak panjangnya. Dia tinggal di sebuah pohon besar yang bagian dalamnya berlubang, bahkan memiliki pintu dan jendela. Dia menyipitkan matanya saat mendongak ke atas ke arah sinar matahari yang masuk melalui pepohonan, kemudian menutup pintu dengan kakinya.

Dia menginjak akar pohon tanpa alas kaki, turun ke tanah yang ditutupi salju, sensasi dingin membuatnya mengerang kecil. Lalu menuju ke sungai terdekat saat dia menikmati sensasi berjalan di atas es.

Sungai kecil di sebelah pohonnya sangat penting baginya, berkah dari alam. Dia berlutut dan mulai mencuci wajahnya dengan air yang dingin.

"Mm! Mn―!"

Suhu air itu benar-benar membangunkannya, melenyapkan sisa-sisa rasa kantuk. Kemudian dia menampar pelan pipinya saat dia berdiri.

"Mm, baiklah!"

Setelah berhasil mengatasi rasa kantuknya, suaranya dipenuhi dengan semangat.

Dia menggelengkan kepalanya untuk mengeringkan poninya, lalu meninggalkan sungai.

"Oke, sekarang waktunya menyapa semua orang."

Di dekat sungai ada tanah kosong yang biasa dia gunakan untuk mengeringkan pakaiannya, itu hanyalah garisan sinar matahari yang menembus pepohonan. Dia mengambil handuk kecil di sini dan mulai berlari kencang.

Dia berlari ke hutan, menginjak rumput dan melompati akar saat pakaiannya berkibar bebas.

Daerah di sekitarnya berwarna putih, anginnya dingin, tapi meskipun begitu, dia mengenali pemandangannya. Meraih ranting dengan satu tangannya, dia berayun.

Dia mencapai tujuannya setelah memperpendek jaraknya, seolah menebus rasa kantuknya pagi itu.

"Hup, sampai! Selamat pagi semuanya!"

Saat dia mendarat, dia sedikit maju untuk mengurangi momentum yang besar. Seolah ingin menutupi kecanggungannya, dia menjulurkan lidahnya dan menyapa sosok di depannya sambil tersenyum malu.

"——"

Namun dia tidak memperoleh jawaban.

Itu wajar, meskipun tampak seperti manusia, mereka hanyalah patung es. Ada tiga patung indah yang berdiri saling membelakangi dalam satu tempat.

Dia mengangkat handuk ke arah mereka sambil tersenyum, "Baiklah, aku akan membersihkanmu lagi, mohon bersabarlah."

Suara minta maafnya menandakan awal dari rutinitas hariannya. Dia menggunakan handuk untuk membersihkan salju yang berkumpul di patung dengan lembut. Tidak mengerahkan tenaga yang kuat, gerakannya sangat teliti dan lembut.

Tak lama kemudian dia selesai, dan mengangguk puas saat dia meregangkan tangannya dengan ringan.

"Aku ketiduran hari ini, jadi aku harus mempercepatnya sedikit."

Dia menatap langit dan merenungkan keterlambatannya. Rutinitas hariannya, merawat patung-patung itu, masih jauh dari kata selesai.

Di seluruh hutan, ada banyak patung seperti itu dan sudah menjadi tugasnya untuk merawat semuanya. Matahari lebih tinggi dari biasanya, dia harus berusaha sekuat mungkin untuk menebus waktunya yang hilang, saat dia sedang mengumpulkan motivasinya―

"―Oh, kau bekerja keras lagi ya."

Tiba-tiba, suara dari langit mengeluarkan angin untuk meniup layarnya.

"...Itu lagi, caramu berbicara sungguh jahat."

"Maksudku, ini aneh. Tidak ada yang memintamu melakukan ini, jadi menurutku ini sangat sia-sia.”

"Aku bukannya melakukan ini supaya seseorang memujiku, jangan katakan hal semacam itu."

Suara yang berbicara padanya adalah sosok androgini, dan mereka tidak dapat dilihat bahkan jika dia melihat ke atas. Gadis itu menggembungkan pipinya dengan perasaan tidak senang saat dia semakin kesal.

"Bahkan tidak menyapa, dan kau tidak mau menunjukkan wajahmu? Itu benar-benar kasar, tahu?"

"Hm, kurasa kau benar. Tunggu sebentar."

Angin dingin berhembus melalui hutan sebagai respons atas keluhan gadis cemberut itu.

Angin itu sedikit berwarna hijau pucat, membentuk pusaran angin di depan gadis itu. Sesosok bayangan mulai terbentuk, dan dalam sekejap, cahaya itu berubah menjadi sesosok makhluk dengan bulu abu-abu tebal yang halus, ukurannya cukup kecil untuk muat di telapak tangan.

Melambaikan ekor sepanjang tubuhnya, mata bulat hitamnya menatap tepat ke arahnya. Ia benar-benar mirip kucing.

Namun, unsur dasarnya benar-benar berbeda, sebenarnya berbeda dunia. Suatu entitas yang memiliki kemampuan supranatural di luar kerangka dunia normal.

"―Tuan Roh."

Perkataan formalnya membuat wajah roh itu berubah. Bersikap seperti manusia, tersenyum.

"Beginilah aku, tetapi mengingat di antara hubungan kita, itu terasa aneh."

Kucing kecil itu tampak tidak senang dipanggil roh, dia menjilati wajahnya saat dia melayang di depannya seolah itu benar-benar alami.

Gadis itu mendesah kecil karena sikapnya, lalu―

"―Puck."

"Yap, sangat bagus. Itu membuatku senang, Emilia.”

Kali ini roh yang disebut Puck tersenyum tulus pada gadis bernama Emilia. Gadis itu menganggapnya aneh, karena senyumannya penuh dengan kasih sayang yang besar.

Di hutan besar yang tertutup angin dingin dan salju, pasangan aneh itu berbicara. Di seluruh hutan beku, hanya terdapat percakapan kecil mereka.

2

―Bagi Emilia yang tinggal di hutan, Puck lebih seperti tetangga aneh. Mereka tidak cukup dekat untuk disebut keluarga, dan mereka juga tidak cukup akrab untuk menjadi teman. Namun, jarak mereka tidak sejauh kenalan.

Jadi begitulah, mereka adalah tetangga ― Itulah yang dipikirkan Emilia.

"Dasar, tidak ada kerjaan, selalu menggangguku saat aku sibuk."

"Ehh, itu tidak benar. Sebaliknya, kaulah yang salah karena selalu sibuk."

“Ada banyak hal yang harus kulakukan! Aku tidak punya waktu untuk bermain denganmu."

"Kau punya waktu untuk bangun telat saat pagi, kan?"

“J-Jangan mengatakan hal konyol seperti itu, aku selalu bangun pagi! Beneran, tahu?”

Puck dengan santai memainkan kumisnya saat dia melihat Emilia memerah dan membuat alasan dengan sangat cepat. Dia hanya melayang-layang di belakangnya saat dia berjalan dengan cepat di hutan.

Saat Emilia melanjutkan rutinitasnya, Puck mulai berputar-putar di atasnya kepalanya, berusaha untuk membuatnya tertarik.

“Aku tidak akan menyangkal kalau aku punya waktu luang, tetapi kau bekerja terlalu keras tanpa alasan. Bersantailah sedikit, aku tidak berpikir memuaskan diri sendiri adalah hal yang buruk."

"Memuaskan diri sendiri, aku benar-benar benci mendengar itu."

"Kalau Kemalasan bagaimana? Ah, tapi orang itu membuatku jengkel.”

Emilia menghela nafas dalam-dalam saat Puck berguman sendiri.

"Jika kau tidak suka melihatku sibuk, kenapa kau tidak membantu?"

"Membantu seperti―?"

“Seperti merawat semua orang, atau menyelidiki hutan! Itu sudah jelas, kan?"

Saat Puck memiringkan kepalanya, Emilia berhenti dan menunjuknya menggunakan jari. Lalu, dia menggunakan jari itu untuk menunjuk ke sekeliling mereka.

"Jika kau membantuku, aku bisa punya lebih banyak waktu juga..."

"Yah, itu mustahil. Karena aku yakin kalau tidak bekerja adalah hal terbaik dari menjadi sebuah roh. Selain itu, kupikir yang kau lakukan tidak ada gunanya. Tepatnya, aku tidak merasakan manfaatnya."

“...Kenapa kau selalu menggangguku seperti ini? Puck, kau bodoh!”

Perkataan tajamnya sepertinya menyakitinya. Menyebut pekerjaannya tidak ada gunanya, sepertinya dia tidak melakukannya sebagai bahan tertawaan.

“Anggap itu pembalasanku. Kau hampir tidak pernah mendengarkanku, aku akan bersikap lebih baik jika kau berhenti bersikap keras kepala. "

"Itu tidak perlu! Silakan pergi! Hmph”

Emilia membalikkan badan dari kucing yang mengedipkan mata dan menyatakan kegagalan dalam negosiasi. Tidak berguna, sia-sia atau semacamnya, dia tidak berencana untuk menghentikan rutinitasnya.

Sebaliknya, Puck tersenyum pahit dan mengangkat bahunya saat dia terus mengikuti Emilia yang bergerak sangat cepat. Itu adalah percakapan yang biasa mereka lakukan, yang telah terjadi beberapa kali.

Lalu Puck akan menyerah, hanya menunjukkan wajahnya ketika ketegangan telah menurun, tapi—

"—Emilia."

"Apa? Biar kutegaskan aku masih marah, jadi aku tidak punya waktu untukmu. Namun jika kau meminta maaf..."

"Simpan itu untuk nanti, kita kedatangan tamu."

Ekspresi Emilia langsung berubah saat Puck berbicara dengan suara yang sedikit pelan. Dia mengambil gulungan dari dadanya, kekhawatirannya jelas terlihat di wajahnya.

Sementara itu, Puck menoleh dan mulai menghirup angin dingin.

"Manusia, sepertinya cukup banyak."

"Apa kau tahu letaknya?"

"Arah utara, di sekitar ‘Jalan Salju Ceroboh’ berdasarkan petamu... Omong-omong, mungkin kau harus memikirkan kembali cara penamaanmu."

"Kenapa? Ini mudah diingat, kupikir ini nama yang bagus."

"Aku setuju dengan itu, tapi mungkin agak memalukan jika orang lain melihatnya... Ah, terserahlah."

Ketika dia memiringkan kepalanya atas sarannya, dia untuk beberapa alasan mengubah topik pembicaraan. Emilia merasa ada yang aneh tentang dirinya, tetapi dia mengesampingkan perasaan itu.

—'Jalan Salju Ceroboh', berlawanan dengan namanya, itu sangat berbahaya.

"Orang-orang terus datang ke sini meskipun ada tanda peringatan yang kau pasang, ya."

"Mungkin mereka hanya tidak menghiraukannya."

“Mereka akan mendapatkan konsekuensinya. Itu tanggung jawab mereka sendiri, jadi kenapa tidak membiarkannya saja?"

"Kupikir ada baiknya jika kau tidak memaksaku melakukan sesuatu."

Sambil senyum, Emilia dengan gesit mengikat rambutnya menggunakan handuk, lalu Puck memberinya jubah putih yang entah bagaimana dia mengambilnya.

Dia menerima dan memakainya, menutupi wajahnya dengan tudung untuk menyembunyikan identitasnya.

"Meski begitu, bukankah ini terlalu besar?"

"Ini terlihat lucu."

"Bukan itu yang kumaksud."

Sambil menggulung lengan bajunya yang kebesaran, dia menatap Puck sebentar sebelum dia berlari cepat.

'Taman'— beberapa tempat yang pernah dia datangi saat melakukan rutinitas hariannya — bukanlah tempat yang dituju. Dia menendang salju saat dia berlari cepat, mengambil jalur terpendek dengan sangat cepat.

Dia tetap lincah saat dia menyelinap melalui daerah pepohonan lebat. Dedaunan yang beku tajamnya seperti pisau, tetapi Emilia berlari seolah-olah mengalir melaluinya.

"Baunya lebih kuat pada jarak ini. Sekitar... Mungkin hanya sepuluh atau lebih."

Puck terbang melintasi langit, ekornya berkibar saat dia dengan mudahnya menyamai kecepatan Emilia. Perkataannya membuat dia menarik dagunya ke dalam dan mempersempit bidang penglihatannya saat dia berlari di atas salju.

"Mereka tidak membawa naga tanah, bahkan di hutan yang tertutupi salju seperti ini. Yah, kurasa itu hal yang wajar."

"Jika mereka memilikinya, tidak mungkin mereka akan memasuki tempat berbahaya seperti ini, ya"

"Naga cukup bagus dalam merasakan bahaya, mereka tidak mungkin ikut bersama para orang yang ingin bunuh diri ini..."

Emilia mengangguk saat dia melompati jurang besar. Mereka sudah cukup jauh dari 'Taman', tapi jalan ini sudah dia petakan.

Emilia bisa melihat dengan jelas detail halus yang tidak akan terlihat oleh kebanyakan orang, dia dengan mudah lompat melalui jalan yang paling berbahaya sekalipun. Akhirnya—

"—Di sini!"

Tiba-tiba, daerah hutan berakhir dan 'Jalur Salju Ceroboh' terbentang di depan Emilia. Ada sedikit celah di hutan, jalan miring yang diapit oleh pepohonan di kedua sisinya. Kira-kira selebar tiga orang yang berdiri bergandengan tangan, jalan kecil di hutan yang terawat secara tidak wajar.

Kemudian dia melihat beberapa orang meninggalkan jejak di jalan dan mendorong gerobak mereka dengan sekuat tenaga.

Ada sepuluh pria, dengan putus asa berusaha mendorong gerobak mereka di jalan.

Tekad mereka mungkin bisa membuat orang-orang yang melihatnya kasihan, tetapi—

"Mungkin saja mereka hanya tersesat, kan."

"Tidak mungkin mereka hanya tersesat."

"Datang kemari tanpa naga tanah, dan berjalan melalui jalan rahasia? Mungkin maksudmu mereka orang-orang jahat?"

"...Kau bodoh."

Setelah mengatakan itu, Emilia menatap ke bawah ke 'Jalur Salju Ceroboh', dengan teliti mengamati kelompok itu dari atas pohon besar.

Mereka memakai pakaian tebal dan memasang rantai di sekeliling roda gerobak mereka agar tidak tergelincir. Ini hal yang wajib dilakukan di daerah beku, tapi saat ini bukan musim yang tepat, seharusnya sekarang cuacanya hangat. Hanya hutan ini satu-satunya tempat yang ditutupi salju.

Dengan kata lain, mereka berniat memasuki hutan sejak awal—

“Ingin mengakui kalau aku benar?

"Oh, diamlah."

"Nya―"

Emiila mendorong Puck menjauh dengan jarinya dan berdiri di atas dahan pohon, kemudian dia melihat Puck yang sedang menggosok tempat dia mendorongnya.

"Aku akan mengatasinya, jadi kau duduk saja, aku tidak ingin kau ikut campur."

"Ikut campur, seperti apa?"

"Seperti menahanku seperti ini."

"Pyaham."

Ekspresi Puck terlihat paham, tetapi Emilia melompat turun dari pohon tanpa melihatnya. Dia menyesuaikan tudung musim gugurnya, berhati-hati untuk menyembunyikan wajahnya.

Dia sengaja mendarat dengan suara keras, mengejutkan para pria yang segera berbalik melihatnya.

"―Hah?!"

"A-Apa-apaan ini?! Sesuatu tiba-tiba...?!"

Semua pria berteriak sangat waspada, berhati-hati terhadap kedatangan Emilia yang tiba-tiba. Mereka memakai pakaian bulu tebal, dengan penutup kepala yang serasi.

Saat mereka gemetaran, Emilia menunjuk mereka dan mengucapkan kata-kata ini―

"―Itu sudah cukup."

Suara tegas dan nyaring seperti bel perak. Nada yang dimaksudkan untuk menenangkan para pria, yang berhenti bergerak seolah-olah terpesona.

Mereka terpikat oleh suaranya, tetapi tidak menyadari efek ini, Emilia menegangkan pipinya saat dia berdiri di jalan mereka.

"Di depan sini berbahaya, jika kalian tidak ingin terluka lebih baik kalian pergi dengan tenang."

Para pria hanya berdiri di sana dengan kaget, mata mereka membesar saat mendengar kata-katanya. Emilia menganggap reaksi itu sebagai pertanda baik, dan percaya segalanya akan berjalan lancar.

Dia pikir Puck mungkin masih menonton di belakangnya, tanpa mengharapkannya berhasil.

―Ayo kita tunjukkan betapa salahnya dia!

“Seharusnya ada beberapa tanda peringatan di sekitar pintu masuk dan jalan ini. Jika kalian tidak menghiraukannya... Um, ini sulit dikatakan, tapi kurasa kalian tidak cocok berada di sini, tempat-tempat seperti ini sangat berbahaya."

"——"

"Kembalilah dan renungkan kejadian hari ini. Jika kalian tersesat, aku dapat membantu kalian keluar. Bagaimana?”

Emilia memiringkan kepalanya saat dia menanyakan hal ini, dan para pria itu hanya saling pandang dalam diam. Melihat ini, Emilia secara pribadi memuji dirinya sendiri karena bujukannya tampak berhasil. Puck pasti terkejut juga, dan jika para pria ini setuju, ini kemenangan besar!

"Maaf, nona."

"Ada apa?"

Emilia sudah membayangkan permintaan maaf Puck ketika seorang pria berjanggut besar memanggilnya, mungkin dia pemimpin kelompok. Setelah memikirkan peringatannya, dia menurunkan kepalanya dan—

"—Kau pikir kami akan mendengarkanmu begitu saja?"

Dia berteriak saat dia mengarahkan crossbow-nya ke arahnya. Dia merasakan Puck hanya menghela nafas dalam putus asa.

3

Crossbow-nya sudah diisi anak panah, siap ditembak kapan saja. Itu merupakan senjata berburu mekanis, dengan pengunci anak panah dan penarik tali.

Pertama kali ditemukan di Kerajaan Suci Gusteco, bahkan wanita dan anak-anak bisa menggunakannya, di atas itu, pria bisa menggunakannya dengan satu tangan. Karena alasan inilah, senjata tersebut sangat digemari.

Tentu saja akurasinya tergantung pada penggunanya, tetapi pria berjanggut itu sudah sering berlatih.

"Jangan melakukan hal aneh, benda ini bisa meledakkan bagian tubuh dalam satu tembakan."

"...Apa itu untuk pertahanan diri?"

"Benda ini terlalu kuat. Seperti yang kau lihat, ini berguna untuk mengatasi gangguan seperti dirimu, yang ikut campur dalam urusan orang lain― Hei!"

Dia menggerakan dagunya pada teman-temannya saat dia mengejek. Pria yang sebelumnya mendorong gerobak mendekati Emilia dengan seutas tali di tangannya.

"Maaf, tapi kami tidak bisa membiarkanmu pergi setelah kau melihat kami. Kau tidak pernah melihat apa-apa... Atau lebih tepatnya, tidak pernah ada orang di sini."

"Kalian tidak ingin ketahuan, jadi kalian berencana untuk melakukan sesuatu yang buruk di sini?"

"Bukan itu masalahnya, kenapa ada orang yang datang ke sini? Itu bukan hanya berlaku untuk kami, tetapi kau juga, kan?"

Sikap kasarnya terlihat jelas, seringai gilanya menunjukkan giginya yang tidak rata. Namun Emilia terdiam saat dia tidak senang atas tuduhannya yang kurang ajar. Karena dia tidak bisa mengatakan kalau dia salah.

“―! Tunggu, jangan bergerak!"

Sambil menggelengkan kepalanya, Emilia menghentikannya. Dia mengayunkan crossbow-nya untuk mengancamnya, tetapi Emilia tidak peduli.

"Aku mengerti sudut pandangmu yang egois, jadi aku akan melakukan sesuatu dengan caraku juga. Jangan keras kepala."

"Dasar bodoh! Apa kau tidak lihat panahku?!"

"Kau yang harusnya begitu, atau kau tidak akan pernah bisa menembak."

"―Matilah!"

Pembuluh darahnya mencuat karena provokasinya, pria berjanggut itu menembaknya. Mekanisme tembakannya melepaskan ikatan tali, meluncurkan anak panah ke udara.

Emilia berada kurang dari sepuluh meter, dia membidik tepat di kepalanya. Lengan stabil dan tanpa ragu, kemampuannya memanah dapat menjatuhkan orang ataupun binatang liar.

―Karena alasan itu, dia dapat dengan mudah memperkirakan tembakannya.

"Apa?!"

"Jangan keras kepala."

Emilia menghindarinya, membiarkan anak panah menghancurkan pohon di belakangnya. Emilia mengulangi perkataan sebelumnya saat pria berjanggut itu gemetar, setelah serangan pembunuhannya dihindari.

Dia membaca semuanya, rasa haus darahnya, arah serangannya, serangan mendadaknya. Sekali dia baca, menghindar adalah hal mudah. Dan setelah menghindar, dia memulai serangan balasannya.

"Sh―!"

Dengan jubah hemline-nya yang berkibar, Emilia melompat ke pria terdekat. Kelompok pria itu tidak menduga ketuanya akan gagal, dan benar-benar tidak siap menghadapi serangannya. Dia menukik ke dadanya, bahunya memukul dagunya dengan kuat sehingga dia terpental, menuju gerobak.

Pria di dekatnya menjerit kesakitan saat tubuh terbangnya menjatuhkam mental mereka.

"K-Kalian bodoh, apa yang kalian lihat, lakukan sesuatu!"

Pria berjanggut itu tersadar dan mulai memarahi rekannya yang kehilangan semangat. Dikejutkan oleh perkatatannya, para pria itu menarik senjata mereka.

Melihat mereka menarik pisau dan kapak mereka, Emilia anehnya merasa lega. Dia khawatir mereka mungkin punya lebih banyak senjata jarak jauh.

Karena itu, dia tidak bisa menghentikan serangannya.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan sekarang!"

Melemparkan peringatan melalui angin, Emilia dengan tegas berlari ke kelompok pemfitnah tersebut, melawan musuh yang dilengkapi senjata dengan tangan kosong.

Musuh menyerang tanpa ragu, dan mereka ada banyak, tetapi Emilia tidak ingin melukai mereka. Berkata bahwa dia dirugikan mungkin ada benarnya.

Tetapi seolah-olah menghapus kerugian tersebut, Emilia memanfaatkan lingkungannya. Salju adalah kartu andalannya.

Di sisi lain, para pria itu benar-benar kacau, Gerakan mereka mirip dengan pergerakan balita. Sangat jelas siapa yang lebih unggul.

Menendang salju, dia dengan lincah menuju pria di depannya dan mengarahkan telapak tangan ke rahangnya. Dilanjutkan dengan tendangan rendah ke pria lain dan sekaligus menjatuhkan sisanya. Dia mengalahkan mereka sekaligus.

Kemampuannya sangat hebat, seperti sedang menari.

"A-apa-apaan... Gadis ini...!"

Namun, pria berjanggut itu tidak terpikat dengan tariannya. Dia dengan putus asa berusaha melepaskan anak panah lain dengan jari-jarinya yang mati rasa, tetapi dia terlalu panik untuk melakukannya dengan benar.

Crossbow yang dihargai karena kegunaan dan kekuatannya memiliki satu kelemahan besar: Tidak bisa menembak dengan cepat. Saat dia selesai, Emilia telah mengalahkan setengah dari pasukannya.

"Sialan, sial sial sial..."

Emilia merasakan bidikannya dari belakang. Emilia segera menciptakan jarak dengan tendangan yang kuat.

Dia tinggal membacanya sama seperti yang dia lakukan sebelumnya. Itu adalah ajakan untuk menyerang.

"U―, Aargh!"

Dia membuat seorang pria gemuk terbang dengan sekali tendangan, tetapi ini membuatnya mudah diserang. Dalam sekejap, pria berjanggut―

"Gh― Aaaaahh!"

Bukannya anak panah, dia diserang oleh jeritan kesakitannya. Dia berbalik kaget dan mendapati pria itu menggeliat kesakitan.

Dia segera mendekatinya, mengkhawatirkan kondisinya.

"Aku sudah memperingatkanmu!"

Bergegas mendekatinya, Emilia meringis terhadap apa yang dilihatnya. Di wajah pria yang kesakitan itu terdapat luka dalam yang lurus di sisi kanannya.

Di sampingnya ada crossbow-nya yang talinya putus, mungkin itu yang melukai wajahnya. Telinga kanannya putus, menumpahkan banyak darah saat dia menjerit.

"Sakitsakitsakitsakit!"

"Jangan bergerak, tenang!"

Sambil menenangkannya, Emilia membuka ikatan rambutnya. Kemudian menggunakan handuknya untuk menutupi lukanya.

Memang tidak bagus, tetapi tidak ada pilihan lain.

Dengan aliran darah yang terhenti serta pria itu tidak sadarkan diri, Emilia menoleh ke para pria lainnya, tangannya berlumuran darah.

"Kalian masih ingin bertarung?"

Sebagai respons, para pria yang kehilangan ketua mereka dan setengah dari jumlah mereka menelan ludah, bahkan mereka menyadari posisi mereka. Namun, harga diri mereka tidak akan membuat mereka menyerah begitu saja.

Itu adalah kegigihan yang tidak berarti.

Emilia menunjuk salju yang dilumuri darah pria berjanggut itu.

"Dengarkan baik-baik. Wilayah ini sebenarnya dipenuhi oleh binatang sihir. Dengan semua yang terjadi di wilayah mereka, mereka pasti akan muncul dalam jumlah besar. ―Kalian tahu betapa menakutkannya hutan ini, kan?”

“——”

“Bawa yang pingsan dan pulanglah. Aku tidak akan melakukan apa pun terhadap kalian."

Emilia sekali lagi menekankan bahwa dia tidak berniat bertarung. Para pria itu terdiam sebentar, lalu segera membawa teman mereka yang pingsan.

Emilia merasa lega, semuanya sudah berakhir. Jika mereka mundur, semuanya akan baik-baik saja. Namun―

"Aku sudah bilang untuk cepat, bukan? Kalian harus meninggalkan gerobak itu, anggap saja sebagai hukuman."

Dia menghentikan upaya mereka untuk membawa gerobak mereka. Pertempuran mereka pasti menarik perhatian, mereka harus pergi secepat mungkin.

Para pria itu menunjukkan tanda-tanda perlawanan, tetapi akhirnya menyerah dan meninggalkan hutan dengan kecewa.

"―Kemarilah, Puck."

Begitu dia yakin mereka semua sudah pergi, dia berbisik kepada Puck. Sementara itu, dia mengambil crossbow dan memeriksa talinya.

Insiden kecil itu bukan kecelakaan.

"Aku hanya menonton, kau tahu. Kau membuat kekacauan.”

Puck dengan santai keluar dari tempatnya. Melayang di sebelah Emilia, dia menatap salju berlumuran darah sambil berpura-pura kaget, membuat Emilia menghela nafas saat dia memperlihatkan crossbow padanya.

"Ini tidak alami, ini terlalu aneh."

"Terlalu aneh? Aku tidak mengerti, bagaimanapun juga, aku hanya seekor kucing."

"Kau bukan kucing― Lihat, ini membeku. Itu sebabnya talinya patah dan melukainya seperti itu. Hal seperti itu tidak mungkin terjadi secara alami."

"Emilia, kupikir kau yang melakukan itu..."

“Tidak mungkin aku! Serius, kukatakan aku tidak melakukan apa-apa.”

Puck berpura-pura tidak bersalah saat Emilia memarahinya, sementara itu dia meletakkan crossbow dan menempatkan tangannya ke dahi.

Menyebutnya sedikit licik seharusnya lucu, tetapi hasilnya mengerikan. Namun dia mengerti alasan Puck melakukannya.

"Aku tahu kau membantuku, aku senang tentang itu. Namun, kau pasti punya cara lain..."

"Maaf, tapi sejauh yang kuketahui itu adalah keadilan karma, aku kehilangan waktu tidur karena hal itu. Bagaimanapun, keselamatanmu jauh, jauh lebih penting.”

Dia mengelus kumisnya tanpa sedikit pun rasa bersalah saat dia menjawabnya, membuat Emilia menundukkan matanya. Dia tahu dia tidak salah, itulah yang dia percayai. Dia benar-benar peduli padanya.

Itu karena dia mengerti kalau itu sangat menyakitkan. Dia tidak tahu apa yang telah dia lakukan untuk mendapatkan perhatiannya, atau bagaimana membalasnya.

“——”

Biasanya, manusia dan roh tidak bisa hidup berdampingan dikarenakan cara hidup mereka yang sangat berbeda. Ada suatu cara untuk mengakali tatanan alam ini ― sebuah kontrak antara manusia dan roh.

Setelah saling bertukar sumpah dan janji, roh itu akan melayani manusia, memberi mereka kekuatan. Mereka yang mendapatkan kekuatan luar biasa melalui kontrak semacam ini dikenal sebagai pengguna roh.

Dalam kasus ini, tidak aneh bagi keduanya memiliki perasaan cinta. Emilia dan Puck sepertinya memiliki hubungan semacam ini.

Namun, itu tidak tepat, tidak ada kontrak di antara mereka. Emilia hanya seorang gadis yang tinggal di hutan, dan Puck hanyalah roh yang tersesat ― Begitulah hubungan mereka. Emilia tidak memiliki keberanian untuk melangkah maju.

"Yang lebih penting, mari kita melihat-lihat barang mereka. Terlepas dari apa itu, akan sia-sia meninggalkannya untuk binatang sihir."

"...Tapi pada dasarnya itu mencuri, bukan?"

“Memanfaatkan limbah dengan baik. Akan lebih bagus jika mereka memiliki pakaian lucu, meskipun kemungkinannya kecil. "

Emilia membuang pemikirannya dan tersenyum pahit terhadap sikap Puck, dia hanya menenangkan suasana.

Menyetujui pendapatnya, Emilia memeriksa isi gerobak mereka, yang di dalamnya terdapat kotak kayu.

"Ini... semacam ramuan botol. Sangat keruh, mungkin semacam obat?"

“Warna hijau itu aneh, ya? Haruskah kita mengambilnya? Atau mungkin kau ingin aku membuatkan kereta luncur?"

"Ya silahkan."

Kotak-kotak itu cukup besar untuk memenuhi lengan seseorang, dan masing-masing kotak penuh dengan botol yang mengandung cairan hijau. Setelah menduga kalau itu semacam obat, Emilia mengambil kelima kotaknya.

Saat dia meletakkan kotak-kotak berat itu, Puck mengaktifkan sihirnya ― Cahaya pucat menyerap kelembaban udara, menghasilkan kereta luncur es kecil.

Emilia meletakkan kotak-kotak itu di atasnya dan mulai membawanya ke 'Taman'.

"Kita harus meninggalkan gerobak, ya."

"Sesuatu sebesar itu tidak bisa memasuki hutan... Kurasa Blight Salju akan menghancurkannya."

"Mungkin dia akan puas memiliki mainan baru. Cepat, cepat!"

Kata Puck saat dia naik kereta luncur, Emilia mengangkat bahunya sebagai respons dan mulai menarik lagi.

Dia harus kembali ke 'Taman' dan melanjutkan rutinitasnya.

"Hee ho!"

"Apa-apaan itu?" Emilia terus menarik kereta luncur, didesak oleh berbagai nyanyian Puck. Pekerjaan seperti itu tampaknya tidak sesuai dengan lengannya yang ramping, tetapi kekuatannya menunjukkan hal sebaliknya.

4

―Dia mencegah siapa pun yang mencoba memasuki hutan, tanpa kecuali, tanpa kelonggaran. Tidak ada yang memintanya untuk melakukan ini, dia memutuskannya sendiri.

Keinginan dan harapannya dalam melakukannya hal itu rumit untuk dijelaskan, tetapi secara sederhana, dapat dikatakan bahwa sebagian besarnya karena dia tidak ingin ada orang lain yang mengacaukan rumahnya.

Dia mengerti betapa egoisnya itu, tetapi entah kenapa hampir semua orang yang memasuki hutan memiliki niat jahat, rasa bersalahnya semakin hari semakin berkurang.

Meski dia tahu kalau itu bukan alasan untuk membenarkan tindakannya.

"Meskipun begitu, orang-orang hari ini yang terburuk, ya?"

Puck menyilangkan tangan pendeknya saat mengatakan ini, sikap santainya tidak cocok dengan perkataannya. Ini terjadi tidak lama setelah mereka pulang membawa kotak-kotak itu.

Emilia melanjutkan pekerjaannya dan Puck mengikutinya dalam suasana hati yang buruk.

"Ya, kurasa begitu...."

"Kau berkata seperti itu meskipun mereka mencoba membunuhmu. Menyerangmu setelah kau memperingatkan mereka dengan ramah adalah hal yang tidak bisa dimaafkan, bukankah begitu?

"Tapi mungkin caraku berbicara menyinggung mereka."

"Naif! Terlalu lembut!"

Puck segera menentangnya dan mengarahkan ekornya ke arahnya.

"Dengar, menyadari kesalahanmu sendiri itu penting, tapi kau terlalu lunak. Aku sudah sering mendengar "tetapi" dan "namun", sekarang kita larang kata itu."

"Eh? Tapi―"

"Rasakan!"

"Ow, itu... Tidak sakit."

Puck memukul lengannya dengan ekor karena dia melanggarnya. Dia benar-benar mengendalikan pukulannya untuk memaksimalkan suara sambil meminimalkan rasa sakit.

"Apa itu tadi?"

“Hukuman untuk anak nakal. Jika kau tidak mengajari mereka dengan benar saat masih kecil, mereka akan menjadi orang-orang yang tadi. Aku ingin melihat wajah orang tua mereka sekarang... Aku penasaran apa kedua orang tuanya juga berjanggut?"

"Pff"

Emilia hampir tertawa mendengar lelucon Puck yang tiba-tiba. Namun, dia dengan cepat menahan dan menyembunyikannya.

"Mengesampingkan jenggotnya... Akhir-akhir ini terasa agak aneh, kita seperti sedang diawasi, dan terjadi peningkatan aktivitas di hutan... Mungkin hanya perasaanku saja?"

“―. Yah, perasaan sedang diawasi mungkin salahku.”

Puck memberikan jawaban ringan saat dia membersihkan wajahnya. Dia merasa ada sedikit jeda pada jawabannya, tetapi dia mulai berbicara sebelum dia menanyainya.

“Tentang peningkatan aktivitas, pertama-tama, apa kau tahu kenapa orang-orang seperti itu terus datang ke sini? Atau apa kau melawan mereka tanpa mengetahuinya?”

"T-Tidak mungkin. Tujuan mereka adalah... Sesuatu yang sangat buruk, kan?"

“Yap yap, Kupikir begitu. Imut sekali."

"Kenapa kau begitu? Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?"

Emilia mengerutkan alisnya saat Puck menepuk kepalanya. Menjawabnya, Puck meluruskan ekornya dan mulai berbicara dengan nada formal.

"Bahkan aku sendiri tidak begitu memahami keadaan dunia luar. Namun, aku paham kenapa orang-orang itu datang ke sini.”

"Puck, kau mengucapkan kata larangan!"

"Aku bisa mengatakannya, itu hanya berlaku untukmu."

"Curang..."

"Curang tidak masalah. Bagaimanapun, mari kita lanjutkan. Mereka ingin secara diam-diam melewati hutan ini, sehingga orang lain tidak dapat melihat mereka memindahkan barang-barang mereka. "

"... Apa mereka tidak bisa bergerak secara wajar?"

Tidak memahami penjelasannya, Emilia memiringkan kepalanya.

"Mungkin tidak. Di luar hutan, ada sejumlah aturan dan hukum. Bergantung pada tempatnya, kau mungkin harus membayar untuk menggunakan jalan.”

Penjelasan Puck terlihat masuk akal, tapi Emilia sepertinya tidak senang, karena Puck sesekali memasukkan kebohongan dalam ceritanya.

"Kau mencoba menipuku lagi, sudah pasti itu bohong."

"Kau tampak sangat yakin, tapi bagian mana yang bohong?"

“Bagian kau harus membayar untuk menggunakan jalan. Itu sangat aneh bagi semua orang."

“Itu benar. Itulah sebabnya mereka ingin memasuki hutan."

Puck biasanya akan mengakui kalau dia berbohong, tetapi dia tidak melakukannya kali ini. Mata Emilia melebar ketika dia menyadari bahwa dia mengatakan hal yang sebenarnya.

“Di luar hutan, bahkan jalan-jalan dianggap hak milik. Orang yang menyeberang, dan bahkan memindahkan barang, segala hal yang melewatinya harus dibayar. Wajar saja mereka ingin lewat sini, kan?"

"...Kalau begitu aku melakukan sesuatu yang sangat buruk, bukan?"

Penjelasan Puck yang berurutan membungkam Emilia. Saat dia khawatir dengan ekspresi yang sukar, Puck menghentikannya sambil membersihkan ekornya.

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Maksudku, jika di luar hutan memang seperti itu, aku benar-benar paham kenapa mereka ingin menggunakan jalan itu. Menghentikan mereka untuk diriku sendiri terlalu egois..."

"Hm, memang benar kalau itu mungkin buruk jika dilakukan demi keinginan egoismu."

Puck setuju dengan gumamnya yang khawatir sambil terus membersihkan ekornya.

“Namun, tidak sepenuhnya benar. Yang kau inginkan hanya melindungi 'Taman'."

"…Ya."

“Itu juga masalah pribadimu, tetapi fakta bahwa tempat itu sangat berbahaya. Aku yakin mereka juga berpikir kalau lebih baik diserang olehmu daripada binatang sihir."

Puck mengucapkan kata-kata lembut untuk menghibur Emilia. Kata-kata ini mengejutkannya, reaksi yang sepertinya menyakiti Puck.

"Kenapa kau begitu terkejut?"

"Aku tidak pernah membayangkan kau bisa mengatakan sesuatu yang begitu baik."

"Kasar sekali. Padahal aku selalu sangat baik, imut, dan lembut."

"Meskipun begitu, aku hanya pernah menganggapmu lembut."

"Jahat!"

Mental Puck jatuh secara dramatis dalam menanggapi perkataannya, membuat Emilia benar-benar tertawa kali ini. Selama sesaat, tidak ada kata-kata yang diucapkan.

Emilia akhirnya lelah tertawa dan menarik napas saat dia mengangguk pada Puck.

"Baiklah, aku akan mencoba sedikit lebih percaya diri dengan tindakanku."

“Ya, lakukan itu. Juga, tidak semua orang yang datang ke sini jahat. Ada orang-orang yang benar-benar tersesat, dan kau membantu mereka, bukan?

"Mungkin mereka ingin menghindari biaya jalan juga..."

"Jika anak kecil memiliki niat seperti itu, itu sudah akhir dunia."

Keduanya mengakhiri obrolan mereka saat mereka sampai ke patung yang tertutup salju. Petualangan mereka yang tak terencana telah berakhir dan sudah waktunya untuk kembali bekerja.

"Baiklah kalau begitu, aku harus merawat semua orang."

"Ya, aku benar-benar mengantuk karena aku mempertahankan wujud ini lebih lama dari biasanya. Tetapi jika kau tidak tahan tanpaku, aku siap untuk mempertahankan wujud sampai aku menghilang."

"Ya, ya. Selamat malam, pemalas.”

Emilia dengan tak tertarik menyuruhnya pergi saat dia melepas tudungnya. Sikapnya yang dingin membuat mata Puck menjadi basah saat dia menghilang mulai dari kaki ke atas.

"Menghilang seperti sedang sekarat, dia hanya belajar hal-hal aneh."

Dia membicarakan tentang roh yang jauh lebih duniawi daripada dirinya. Emilia kemudian mendekati patung-patung itu dengan handuk baru dan mulai membersihkannya dengan lembut.

"Selamat pagi... Mungkin agak terlambat, maaf."

Dia membersihkan wajah mereka, tidak mendapat jawaban seperti biasa. Gerakannya yang hati-hati perlahan menghilangkan salju dan es, mengembalikan mereka ke bentuk aslinya.

—Patung-patung itu dibuat dengan sangat indah, sangat jauh melampaui apa yang bisa dibuat manusia. Fisik, ekspresi, pakaian, semuanya ditiru secara sempurna, seolah-olah itu benar-benar orang yang membeku— Ya, itu benar.

Dia bekerja keras, meluangkan waktunya saat dia dengan hati-hati merawat patung. Totalnya, ada 49 patung, yang semuanya dia bersihkan setiap pagi. Mereka semua adalah orang-orang yang membeku pada suatu hari, dan bagi Emilia, mereka adalah bayangan saudara-saudaranya yang tak tergantikan.

Termasuk dia, terdapat lima puluh elf di hutan putih itu—

—Tidak peduli bagaimana pendapat orang lain, itulah yang dia pikirkan.

5

—Suatu hutan besar yang diselimuti warna putih, sebuah dunia yang berakhiran sama di segala arah.

"——"

Setelah berpisah dari Emilia, roh ringan itu menuju suatu tempat di dalam hutan. Ada sedikit perubahan dari tujuan awal. Itu adalah perubahan yang sangat kecil, tetapi jika dibiarkan, itu dapat berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa dia abaikan.

—Itu mirip dengan api. Percikan sekecil apa pun bisa berubah menjadi kobaran besar, yang mengubah segalanya menjadi abu.

Hutan, orang-orang, dan bahkan gadis itu—

"—Menghilang"

Percikan baru saja dibuat, cahaya yang mengancam akan memusnahkan hutan, hancur lebur. Memastikan hal itu, roh itu merubah wujudnya menjadi jejak sihir yang samar.

“Dia masih butuh waktu. Jika memungkinkan, selamanya."

Dalam gumaman ada permohonan yang tulus. Itu dalam, penuh kasih, penuh rasa sayang—

"—"

Meninggalkan gema kesepian itu, roh itu menghilang.
full-width