Bab 3: Akhir dan Awal

(Penerjemah : Anickme)


1

“Hei, bung, jangan hanya menatap ke langit seperti itu. Kau mau abble?”

Begitu kesadaran Subaru telah kembali kepadanya, ada buah merah masak di depan wajahnya.

Buah itu tampak seperti apel, dan saat dia melihatnya, ungkapan “buah pengetahuan” terlintas di pikirannya.

Itu adalah buah terlarang yang, ketika dimakan, mengakibatkan pengusiran dari surga.

Jika Subaru memakannya sekarang, apakah itu bisa menyelamatkannya dari situasi yang tak bisa dijelaskan yang dia sadari sekarang?

"Hei, nak," kata seorang pria paruh baya sambil mengerutkan alisnya dan memanggil Subaru, yang benar-benar tidak ada reaksi.

Subaru perlahan-lahan menjauh dari tepi kesadarannya yang samar kembali ke kenyataan, dan ketika dia kembali, dia tiba-tiba mengangkat kepalanya. Dia melihat ke sekelilingnya, jantungnya berdetak kencang dan napasnya tidak beraturan.

Dia ada di depan toko buah di jalan utama, pada tengah hari. Ada berbagai sayur-sayuran dan buah-buahan yang berwarna-warni yang dipajang, dan orang yang berdiri di depan semua itu adalah seorang pria yang terlihat keras, pemilik toko dengan bekas luka putih di wajahnya.

Ini adalah jalan ramai yang pernah dilihat Subaru beberapa kali sebelumnya. Dia menggaruk kepalanya.

"Aku tidak mengerti..." gumamnya, kemudian dengan pusing dan mual, dia roboh di tempat.

2

Saat dia merasakan aliran air dingin di wajahnya, Subaru entah bagaimana bisa mendapatkan kesadaran keruhnya kembali ke dunia nyata.

"..."

Subaru menatap ember air kosong yang pemilik toko buah gunakan. Setelah Subaru roboh di depan tokonya, pemilik toko itu membantunya mendapatkan kesadarannya kembali.

Subaru senang karena pemilik toko itu memiliki hati untuk mengkhawatirkannya, tetapi fakta bahwa dia sebaiknya tidak menanyai keberadaan Satella telah melukai hatinya dengan sangat dalam.

Saat Subaru duduk di lantai tanah, dia menyeka air dari poninya dan menggeretakkan giginya. Kilatan pisau itu masih menghantui pikirannya, bersama dengan senyuman mengerikan itu saat menari melalui aroma darah.

"Hhgh ..."

Subaru berdehem dan saat dia duduk sambil memeluk lututnya, dia tidak bisa menghentikan seluruh tubuhnya yang gemetaran.

Dia menjalani kehidupan yang normal sampai titik ini. Dia belum pernah mengalami begitu banyak ketakutan, begitu banyak keputusasaan.

Dia tidak mau berpikir lagi. Dia tidak mau mengingatnya lagi. Dia ingin menarik kembali ingatannya dan melupakan segalanya.

Kilatan pisau, lengan terbang, jeritan, tenggelam dalam lautan darah, rambut perak itu...

"..."

Semakin sedikit yang ingin di ingat Subaru, semakin banyak ingatannya kembali. Dipenuhi dengan kesedihan, Subaru mengangkat wajahnya untuk berteriak, tapi baru saja dia ingin mengeluarkan semuanya...

"Huh…?"

Suara dalam diri Subaru penuh dengan keraguan, dan dia hanya melihatnya, tercengang.

Dalam jangkauan pandangan Subaru, dengan mata yang terbuka lebar, dia bisa melihat sosok tinggi dengan kulit seperti reptil...manusia setengah hewan yang hanya setinggi pinggangnya...seorang penari muda dengan rambut merah muda...seorang pendekar pedang dengan enam pedang. di pinggangnya ...

...dan seorang gadis muda berjubah putih dengan rambut peraknya yang bergoyang saat dia berjalan.

Mata violet itu melirik ke arah Subaru saat dia lewat, tapi dia memalingkan wajahnya seolah tidak tertarik dan terus berjalan.

Mata ametis itu, penuh dengan tekad, terus menatap ke depan saat dia menunduk.

Dalam posisi seperti itu, kecantikan yang lembut itu, dalam diri gadis yang dicari Subaru, tidak berubah.

Tidak bisa langsung memanggilnya, dengan nafas yang tak beraturan Subaru berusaha berdiri dan mengejarnya. “Tung—! T-tunggu! Tunggu! Tolong, tunggu sebentar…"

Selama sesaat, gadis itu bereaksi pada suaranya dan kembali menatap Subaru dengan tatapan dingin, seolah-olah dia melihat orang asing.

Subaru merasa jantungnya ditarik oleh tatapan tajamnya yang dingin. Dia belum melakukan permintaannya. Dia telah menyakitinya. Dia belum meminta maaf. Tidak mungkin dia memaafkannya, tapi meskipun begitu Subaru tetap mengejarnya.

Dia tidak tahu bagaimana perasaannya. Paling tidak dia harus tahu apa yang sedang dia pikirkan.

Jika memikirkannya saja bisa menyakiti dirinya, lebih baik dia disakiti oleh dirinya yang asli, di sini dalam kenyataan ini di mana dia bisa merasakan sakit.

"Tolong, tunggu sebentar! Satella!"

Dia tidak yakin dengan apa yang ingin dia katakan kepadanya saat berhasil menyusulnya, tetapi ketika jawaban untuk pertanyaan itu telah jelas dalam pikirannya, Subaru memanggil nama Satella seolah-olah dia baru saja mengingatnya.

Akhirnya, sepertinya suaranya telah mencapai dirinya, karena ketika dia mulai menjauh darinya, gadis itu segera berhenti di tengah perjalanannya.

Subaru melewati kerumunan orang untuk menyusulnya, dan menyentuh pundak kurusnya.

“Jangan...mengabaikanku. Itu semua kesalahanku karena aku pergi dan salahku juga karena tidak mendengarkanmu, tapi aku sudah putus asa. Setelah apa yang terjadi aku pergi ke gudang jarahan, tapi aku tidak bisa menemuimu di sana dan...”

Saat Subaru menyentuh pundaknya, Satella memandangnya dengan heran.

Saat dia berbalik dan Subaru berbicara, apa yang keluar adalah semacam pertahanan diri yang terdengar penuh dengan alasan.

Yang membuatnya yakin adalah karena mata Satella yang jelas.

Tatapannya tanpa emosi, dan saat Subaru menatapnya, dia tetap merasa lega. Sejauh yang dia tahu, Satella tampaknya tidak terluka. Subaru menganggap hal ini sebagai keselamatan.

"Aku minta maaf karena hanya memikirkan diriku... Aku sangat senang melihatmu tidak terluka."

Kenyataan bahwa mereka bisa bertemu lagi membuat Subaru merasakan kebahagiaan kecil.

Ada begitu banyak hal yang harus mereka bicarakan, tetapi sebelum semua itu Subaru merasa seolah-olah tidak ada yang dia lakukan dengan sia-sia. Akhirnya dia merasa sangat lega...

"...Apa yang kau lakukan?"

Tetapi saat Subaru menemukan rasa tenang ini, Satella sangat marah. Pipi putihnya memerah, saat dia berbalik untuk melepaskan tangan Subaru dari pundaknya. Setelah mundur selangkah dan memberi beberapa jarak antara dia dan Subaru, mata Satella dipenuhi permusuhan.

Setelah reaksi yang tak terduga ini, Subaru tanpa sadar menelan ludah.

Tetap saja, reaksi ini masuk akal. Dari pandangan Satella, dia seharusnya terkejut jika Subaru akan menunjukkan wajahnya di depannya. Itu bukanlah penghinaan yang besar bagi Subaru dan—

"Aku tidak tahu siapa dirimu, tapi apa maksudmu, memanggil seseorang dengan nama yang sama dengan Penyihir Kecemburuan itu?!"

Setelah mendengar reaksi itu, yang melebihi perkiraan yang bisa dia bayangkan, semua keberanian diri yang dibangun Subaru hancur berkeping-keping.

Dihadapkan dengan kata-kata tak terduga itu, Subaru merasa seolah-olah waktu telah berhenti.

Suara dari kerumunan menghilang. Yang dapat didengar Subaru hanyalah detak jantungnya yang keras, dan napas berat gadis berambut perak di depannya, tegang dan membela dirinya. Dia merasa seolah-olah semua suara lain telah menghilang...tapi itu bukan ilusi.

"…Apa?"

Ketika Subaru melihat di sekelilingnya, dia menyadari bahwa semua orang, semua orang di sekitar distrik perbelanjaan yang padat ini, semua pejalan kaki di jalan sedang melihat mereka. Semua orang tampak tegang, dan tidak ada yang menggerakkan satupun gerakan, tetap diam dan tenang.

Seakan-akan percakapan antara Satella dan Subaru telah menguasai seluruh area.

Dengan tatapan tajamnya, Satella menunggu jawaban Subaru. Namun, tidak yakin dengan apa yang membuatnya bersalah, Subaru tidak dapat memikirkan bagaimana menjawabnya. Alasan kenapa Subaru mengira Satella akan marah dan alasan sebenarnya dia marah berbeda.

“Aku tanya sekali lagi. Kenapa kau memanggilku dengan nama Penyihir Kecemburuan?”

"Apa maksudmu? Itulah nama yang kau beritahukan kepadaku..."

“... Aku tidak tahu dari siapa kau diberitahu, tapi siapa pun itu, itu sangat kasar. Bahkan jika kau tidak sedang berpikir, cukup aneh jika kau percaya. Penyihir Kecemburuan yang sedang kita bicarakan, perwujudan dari semua hal yang dilarang. Kebanyakan orang akan ragu untuk menyebutkan nama seperti itu, dan kau menggunakannya sebagai namaku?”

Dengan kemarahan yang diperlihatkan ke semua orang, Satella...gadis berambut perak itu melemparkan Subaru ke dalam badai kebingungan. Semua orang di sekitar sepertinya mengangguk, setuju dengannya, dan itu, lebih dari segalanya, membuktikan bahwa dia benar. Subaru sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dia tidak mengerti dengan apa yang dikatakannya. Subaru hanya memanggilnya dengan namanya.

Tapi Satella memarahinya, dan semua orang di sekitarnya setuju bahwa dia benar.

“Jika hanya itu yang ingin kau katakan, aku akan pergi. Aku tidak punya waktu untuk berurusan denganmu."


Gadis itu melihat Subaru yang sedang berdiri, menundukkan kepalanya. Lalu dia berbalik dan berjalan pergi, dengan rambut yang menari di belakangnya, tidak ada hubungan dengannya.

Subaru berpikir untuk memanggilnya lagi, dan mulai meneriakkan namanya, tetapi suaranya tersangkut di tenggorokannya seolah-olah dia membeku.

Jika Subaru memanggil namanya lagi, dia hanya akan membuat kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Tapi kalau begitu, dengan nama apa dia harus memanggilnya?

Dia ragu-ragu, tidak bisa memutuskan apa yang harus dia lakukan.

"!"

Subaru tersentak. Di atas penutup pedati di pinggir jalan, dari posisi yang sedikit lebih tinggi dari Subaru, ada sesuatu yang melompat. Tubuh kecil yang ditarik oleh gravitasi ke tanah, dan segera setelah mendarat dia pergi secepat angin. hembusan angin kecil itu, dengan pakaian kotor dan rambut pirang di belakangnya, melewati kerumunan orang dengan keterampilan seperti dewa, dan dari sana ada lengan yang menyelip ke dalam jubah putih seorang gadis.

Keduanya hanya bersentuhan sebentar, tetapi karena ada sedikit hembusan angin, hal itu sudah cukup.

Saat angin membuat jubahnya terangkat dan gadis di dalam jubah itu berputar, angin itu menerbangkannya lagi.

"Tidak mungkin!"

Gadis berambut perak itu sedikit berteriak karena terkejut dan memasukkan tangannya ke jubahnya. Dia tidak bisa menemukan apa yang dia cari, dan dengan mata yang terbuka lebar, dia melihat ke arah angin cepat yang melarikan diri.

Melihat lencana berhias naga di tangan angin itu saat dia pergi, Subaru berteriak, “Felt?!”

Karena Subaru memanggilnya, angin itu menoleh ke belakang dengan ragu-ragu, tetapi tanpa memperlambatnya, dia dengan cepat turun menyusuri gang sempit. Semuanya terjadi begitu cepat hingga Subaru hanya bisa melihat sekilas apa yang terjadi, tapi itu pasti—

“Sudah aku duga! Itu sebabnya kau menghentikanku? Apa kalian berdua bekerja sama?!” keluh gadis itu sambil melihat Subaru yang berdiri diam.

Gadis itu dengan cepat membalikkan telapak tangannya ke arah Subaru, tetapi sepertinya dia mengubah pikirannya, lalu lari mengejar angin yang turun ke gang.

"Hei, tunggu! Ini hanya salah paham! Aku…"

Subaru pergi setelah mereka masuk ke gang, berharap bisa menyelesaikan masalah itu. Saat dia berlari, pikirannya dipenuhi pertanyaan dan keraguan. Ada terlalu banyak informasi untuk diproses, dan pikirannya yang panik tidak bisa menanganinya. Bahkan mengesampingkan hal itu, dia baru saja mati dua kali, dan segala sesuatu dalam pikirannya kacau.

“Pasti ada seseorang di luar sana yang akan membantuku! Kenapa aku dipanggil ke sini?!” Subaru berteriak, karena sudah cukup dengan tidak ada hal yang masuk akal, saat dia terus berlari dengan pijakan yang tidak pasti di gang gelap.

Subaru tidak yakin akan staminanya, tetapi untuk jarak yang pendek, dia pikir dia tidak akan kalah dengan kedua gadis itu. Namun…

"Sialan! Tembok?!” Subaru meludah. Tepat di depannya adalah jalan buntu.

Tidak ada satu pun dari kedua gadis itu. Felt mungkin bisa dengan mudah memanjat dinding seperti itu, dan dia berpikir bahwa Satella juga bisa melakukan sesuatu dengan sihirnya.

Aku bisa mencoba memanjat di sisi satunya, tetapi aku rasa aku tidak bisa mengejar mereka.

Subaru tidak bisa terlalu lama di sini. Dia tidak bisa mengelilingi seluruh ibukota, jadi jika dia kehilangan mereka di sini, tidak mungkin dia bisa mengejar mereka.

“Lalu haruskah aku pergi ke gudang jarahan? Jika Satella dan Felt masih hidup, maka Rom pasti…”

Bahkan saat Subaru mengatakan ini, dia merasa ada beberapa hal yang salah dan bertentangan dengan diri mereka. Felt telah diserang. Leher Rom robek. Satella jatuh ke genangan darah. Subaru terpotong di perutnya—dua kali. Bagaimana bisa semua orang tetap hidup...?

"Tidak. Sekarang bukan waktunya untuk itu. Aku tidak bisa membuang-buang waktu untuk berpikir. Sekarang aku harus...”

Subaru akan langsung pergi dan menemui Rom. Itulah yang harus dilakukan Subaru. Dia bisa berpikir hal itu nanti. Hal terbaik yang bisa dia lakukan sekarang adalah meninggalkan gang ini dan menuju ke daerah kumuh.

Subaru berbalik.

"...Kau pasti bercanda!"

Tepat di depannya, menghalangi pintu masuk ke gang, ada tiga bayangan, tiga orang, dengan pakaian kotor yang berpenampilan kasar dan barbar. Tiga preman yang menggunakan lorong ini sebagai tempat berburu mereka. Ini ketiga kalinya Subaru bertemu dengan mereka hari itu.

3

“Sudah cukup! Apa kalian tidak belajar dari kejadian sebelumnya?”

Bosan melihat ketiga preman itu lagi, Subaru dengan marah menginjakkan kakinya ke tanah.

Ini merupakan bertemu mereka yang ketiga. Setiap kali berada di dalam gang, tiga lawan satu. Mengingat upaya mereka yang pertama dan kedua tidak berhasil, Subaru terkejut karena mereka sangat bertekad untuk menangkapnya dalam percobaan yang ketiga.

“Aku tidak punya waktu ataupun kesabaran untuk berurusan dengan kalian yang bodoh. Minggir, sekarang!”

Situasi sekarang benar-benar membuat Subaru agak jengkel, tetapi ada juga fakta, mengingat apa yang terjadi terakhir kali, dia pikir dia seharusnya bisa menakut-nakuti mereka jika dia berteriak. Setidaknya itulah yang dia pikirkan.

"'Minggir," katanya. Ha! Aku benci dengan sikapmu. Apa kau masih belum paham? Kau tidak bisa mengatur kami dalam posisimu sekarang."

“Terakhir kali tiga lawan satu dan kalian kalah, dan saat ini kalian bertingkah seperti tidak terjadi apa-apa! Kalian pikir kalian bisa bicara sombong seperti itu? Bahkan pecundang yang menyedihkan akan lebih menunjukan rasa malu!”

Namun, para preman itu sama sekali tidak takut pada Subaru, dan terus mengejeknya. Subaru menggigit bibirnya karena reaksi tak terduga mereka. Bahkan penjahat kecil seperti ini pun memiliki harga diri, pikirnya.

Dia tidak ingin menyia-yiakan waktu dan resiko kehilangan Felt dan Satella. Juga, mengingat bahwa akan ada kemungkinan untuk bertarung, Subaru memutuskan bahwa dia harus mengurus hal ini dengan damai.

"Baiklah. Terserah kalian. Aku akan memberikan semua yang kumiliki. Itu yang kalian mau, kan?”

Subaru menahan kekesalannya dan mengangkat kedua tangannya di udara, menunjukkan bahwa dia menyerah.

Para preman itu saling pandang setelah Subaru mengubah sikapnya, dan kemudian semua preman tertawa keras.

"Apa-apaan itu?! Jika kau begitu takut, kau seharusnya mengatakannya!”

"Ha! Lihat pria ini! Jangan bicara omong kosong jika kau akhirnya menyerah!”

"Terserah. Jika dia akan melakukan apa yang kita katakan, itu akan memudahkan kita, kan? Tapi pengecut sekali, ya?"

Subaru merasa kesal, tapi dia hanya tertawa. Dia memutuskan untuk memberi nama kelompok preman itu "bodoh, lebih bodoh, dan terbodoh" supaya dirinya merasa lebih baik, dan bergumam pelan, sehingga mereka tidak mungkin mendengarnya. "Begitu aku bertemu kembali dengan Satella, aku akan meminjam Puck dan membuat mereka...membayarnya?"

Tepat ketika Subaru hendak memikirkan semua itu, dia membeku.

"Huh…?"

Dari semua hal yang telah terjadi sejak Subaru datang di dunia baru ini, hal inilah yang paling mengganggunya.

"Kenapa…?"

Di jari Subaru, di dalam tas plastik belanjaannya, ada sebungkus snack. Rasa sup jagung, itu adalah salah satu makanan favoritnya, dan dia telah memakannya di tempat itu untuk makan siang.

Ketika Subaru bersama Rom di gudang jarahan, dia telah memberikan itu kepadanya sebagai camilan malam, hal yang kemudian disesalinya.

Namun, tas itu masih ada, penuh dan tertutup sama seperti saat dia membelinya di toko.

“Aku seharusnya tidak memiliki ini lagi...Rom telah memakan semuanya, dan aku mengeluh dan...tidak ada yang tersisa. Aku sangat yakin akan itu."

Kenapa snack itu kembali ke dalam tas? Tidak ada bekas bukaan. Itu tidak mungkin.

Subaru merasa pikirannya dihalangi di segala sisi. Namun, dalam keadaan seperti itu, Subaru masih bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Meskipun dia sudah menyimpulkannya, itu tidak terlihat baik. Begitu terpikir hal seperti itu, dia langsung menolaknya sebagai hal mustahil. Pikirannya tidak setuju dengan kemungkinan itu.

"Hei, apa yang kau lakukan?!"

"...Apa?" Subaru tiba-tiba mendengar suara tepat di sebelahnya. Memotong pikirannya, itulah satu-satunya kata yang bisa dia jawab.

Suara itu berasal dari salah satu preman. Yang terkecil. Orang yang baru saja dinamai Subaru sebagai “Terbodoh.” Ketika Subaru terjebak dalam pikirannya, Terbodoh berjalan mendekat dan meletakkan tangannya di pundak Subaru.

Subaru berputar dan mendorong tangannya. "Minggir..."

"Apa yang kau katakan ?!"

“Dari semuanya, aku sudah kehabisan waktu untuk berurusan dengan kalian. Aku harus... memeriksa sesuatu."

"Apa kau bercanda?" Saat Subaru mendorong Terbodoh ke samping dan bergerak untuk keluar dari gang, dua orang lainnya berdiri dengan marah untuk menghalanginya.

"Minggir! Aku harus pergi ke suatu tempat!" Dia harus memastikan teori yang luar biasa bodoh dan tak terpikirkan ini ...

Berhadapan dengan teriakan Subaru, para lelaki itu sedikit ragu-ragu. Jika dia bisa menerobos dan keluar ke jalan utama, dia mungkin akan terhindar dari bahaya. Setelah memutuskan itu, Subaru sedikit mundur untuk mendorong tanah dengan kuat.

Namun…

"...Ap?"

Tepat saat Subaru menurunkan kakinya. Kekuatan di kakinya terkuras, dan dia jatuh berlutut. Dia mengulurkan tangan untuk menahannya agar tidak terjatuh, dan mengutuk kebodohannya karena tersandung pada momen yang begitu penting.

"Huh... Aneh..." Tepat ketika Subaru mencoba mendorong tanah agar dia bisa berdiri lagi, lengannya mulai bergetar. Dia tak mengira dia bisa berdiri lagi . Dia tak mengira dia bisa mengangkat tubuhnya.

"Yah, bukankah aku sudah melakukannya sekarang...?"

Subaru melihat ke belakang saat dia mendengar suara tersebut bercampur dengan kecemasan, kemudian dia menyadari apa yang telah terjadi. Sebuah pisau mencuat dari punggungnya.

"Gah... Ah..." Begitu Subaru menyadari hal itu, rasa sakit yang tak tertahankan menguasai dirinya. Dia tersedak. Itu adalah reaksi alami terhadap rasa sakit yang membakar.

...Aku ditikam! Aku ditikam! Aku ditikam! Aku ditikam! Aku ditikam! Aku ditikam! Aku ditikam!

Lebih bodoh, satu-satunya orang yang membawa pisau, telah menyerangnya. Subaru tidak sadar saat dia menarik senjatanya, dan saat Subaru mencoba menerobosnya, dia ditikam dari belakang.

Rasa sakit ini adalah siksaan yang sama yang dia alami dalam beberapa jam terakhir, tetapi tak peduli berapa kali dia mengalaminya, dia tidak berpikir dia akan terbiasa dengannya.

"Apa? Kau benar-benar menikamnya?! ”

“Aku tak punya pilihan! Menurutmu apa yang akan terjadi jika dia melarikan diri ke jalan? Pikirkan saja apa yang harus kita hadapi jika dia melakukannya.”

"Tunggu! Jangan lakukan itu, dasar bodoh! ….Ugh. Ya, ini buruk. Isi perutnya rusak. Dia akan mati."

Si besar, Bodoh, membalikkan tubuh Subaru, dan ketika dia melakukannya, pisaunya ditusuk lebih dalam ke punggungnya.

"Ughh...." Penderitaan yang lebih besar menumpuk di atas rasa sakit yang Subaru alami dan bahkan penderitaan kematian Subaru disimpan untuk dikeluarkan dari tenggorokannya.

Subaru tidak bisa meminta bantuan ataupun berteriak. Tidak ada yang bisa dia lakukan. Dia hanya bernafas dengan tidak beraturan, merasa seolah-olah dia akan mati tenggelam dalam darahnya sendiri saat itu mengisi tenggorokannya.

Rasa di tangan dan kaki Subaru mulai meninggalkannya, dan kesadarannya mulai melemah seperti cahaya yang akan padam.

Sekali lagi, penglihatannya menjadi gelap. Ini adalah akhir, sama seperti yang terakhir kali.

Apa maksudmu, "terakhir kali"...? Pikir Subaru. Kenyataan bahwa dia sekarang yakin pada pendapat yang dia tolak sebagai sesuatu yang bodoh sebelumnya membuatnya merasa lebih menyedihkan.

Tetapi jika dia meyakininya, dia mungkin akan melakukan cara itu.

Jauhkan pikiranmu dari kematian. Sebelum kau mati, cari tahu apa yang terjadi di sekitarmu.



Matamu sudah mati. Lengan dan kakimu juga sudah pergi. Yang tersisa hanyalah hidung dan telingamu. Maka kau sebaiknya menggunakan mereka berdua sampai mati. Tidak peduli aroma apa yang aku cium. Tidak masalah jika semua yang kudengar adalah hinaan. Aku mencium bau lumpur dari jalan. Aku mencium bau seperti besi dari darah yang keluar dariku. Sekarang hidungku mati. Sudah mati. Aku ragu telingaku bisa bertahan lebih lama.


"...pat ... ambil...barang berharganya..."

"…lum! Para penjaga! Mereka…"

“... pat! Tidak! Jika kita...tertangkap, aku akan...”

Yang bisa kuambil hanyalah sedikit percakapan. Itu hebat, tetapi bagian dari otakku, aku perlu mencari tahu apa artinya itu sudah mati. Aku sekarat jadi aku hanya bisa mendengar. Aku tidak tahu apakah aku akan mengingatnya. ...Apa artinya mengingat? Kenapa aku ingin mengingatnya? Apa artinya ingin? Kenapa...apa?

Ketika otak Subaru mati, fungsi bagian tubuhnya yang lain segera menyusul. Pada akhirnya, dengan suara samar dari sesuatu yang ditarik darinya, sesuatu yang tergores...Subaru kehilangan nyawanya untuk yang ketiga kalinya.

4

Ketika kesadaran Subaru bangkit, dia di dalam kegelapan. Tetapi menyadari bahwa itu adalah kegelapan buatannya, dia membuka kelopak matanya yang tertutup. Sinar matahari yang terang membakar matanya. Subaru merintih sedikit dan menaruh tangannya di atas matanya.

“Jadi, nak. bagaimana abble-nya?"

Itu adalah pertanyaan yang sudah sering didengar Subaru, dengan suara yang dia kenal, yang ditanyakan padanya.

Telinganya bekerja dengan sempurna.

Keramaian di jalan utama itu benar-benar berisik, dan sangat berbeda dari kesunyian yang ada di sekitarnya sebelum dia mati.

Begitulah keadaannya, terlepas dari fakta bahwa, dalam arti yang panjang, kesunyian berada di gang yang hanya satu belokan dari jalan utama.

Cukup menyedihkan bahwa aku bahkan tidak bisa keluar lebih dari satu jalan.

Pemilik toko itu mengerutkan dahinya karena tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Ketika Subaru melihat bekas luka putih membentang di wajahnya, dia pikir itu membuatnya terlihat lebih jahat.

Tapi Subaru tahu bahwa dia sebenarnya adalah orang yang sangat baik dan bijaksana yang menyayangi anaknya.

Tentu saja, dia mungkin tidak ingat dengan apa yang dilakukan Subaru.

Memikirkan itu, dia berbalik sekali lagi ke pemilik toko dengan bekas luka.

"Sudah berapa kali kau melihat wajahku sampai saat ini?"

"Apa maksudmu, 'berapa kali'? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Caramu berdiri, aku ragu aku akan melupakanmu dan ekspresi buruk yang kau miliki jika aku pernah melihatmu sebelumnya.”

“Aku tidak perlu mendengar bagian terakhir tentang ekspresiku, tahu? Ngomong-ngomong, tanggal berapa hari ini?”

“Tanggal 14, bulan Tammuz. Lihat titik ini, menurut kalender, ini sudah setengah tahun.”

"Huh. Aku paham. Tammuz, ya.” Subaru tidak tahu apa arti dari tanggal itu. Sebenarnya, dia tidak tahu bagaimana mereka membuat kalender di dunia ini. Mungkin dia terlalu berlebihan jika berharap mereka menggunakan kalender matahari, tetapi dia tidak bisa memastikannya.

“Jadi, nak. Bagaimana abble-nya?"

Pemilik toko itu tetap bersabar ketika Subaru diam, tetapi baginya untuk berurusan dengan seseorang selama ini hanya untuk membeli satu buah apel... Dia sepertinya sudah mencapai batasnya. Wajahnya mulai berkedut.

Sebenarnya, saat ini pria itu tidak terlihat baik jika dia tersenyum. Ketika dia berusaha keras untuk tersenyum, mungkin senyumannya lebih berefek untuk menakut-nakuti pelanggan, dan Subaru merasa bahwa dewa yang menempatkan pria ini dalam pekerjaan seperti ini adalah dewa yang kejam.

Adapun jawaban Subaru untuk pertanyaan pemilik toko itu, dia meletakkan tangannya di pinggulnya dan dengan bangga menundukkan kepalanya.

"Aku minta maaf, tapi aku sama miskinnya dengan langit biru ini!"

"Kalau begitu pergilah dari sini!" Teriakan pemilik toko itu sudah cukup untuk membuat Subaru pergi, dan dia bergegas keluar dari sana dengan terburu-buru.

Aku benar-benar tidak bisa kembali ke toko itu untuk sementara waktu, pikir Subaru, dengan memikirkan kedua orang itu di pikirannya.
full-width